Langsung ke konten utama

Sebuah Negeri Bernama NIRWANA



Hampir tak pernah kulihat pelangi di Palestina
Dilangit hanya kulihat kepulan asap hitam
Dari muntahan mortir dan rudal
Rerumputan yang biasa kutatap dalam-dalam dimusim hujan
Juga enggan menghijau
Tanah kami hanya ditumbuhi kerikil dan batu tajam
Yang sering dilempar keras oleh pejuang
Tak ada anak kecil yang luput
Kami semua berikrar membela sampai sahid Palestina
Tak peduli Amerika terus menekan
Lempar batu sembunyi senapan, seakan……….
Israellah yang didholimi !!
Padahal kami, teman, ayah ibu, dan semuanya lebih dahulu gugur
Yang diculik, diberondong senjata berbagai kaliber ……….
Kadang…aku rindu kembali ke zaman Musa dan Harun
Suatu masa dimana kami mendapat pembela sejati
Aku rindu kesejukan
Tahukah engkau kami terus meraung raung….dibalik tembok tegar
Yang susah dirobohkan
Aku mau kau tak ikut menangis
Jangan ikut terharu dengan kami
Sebab jauh diatas sana, disuatu negeri antah berantah bernama nirwana
Ada ribuan warga kami bersama disebuah tempat teduh
Dimana-mana pohon rindang berbuah
Dibawah kami ada pula kali kecil yang riak selalu
Anak-anak tak kau jumpai disana
Orang-orang tuapun tak ada disana
Kami semua muda dan bahagia, ditemani bidadara dan bidadari
Masih ada senyum di Palestina
Meski masih dalam bayang kekejaman…
Adakah kalian yang tak bisa tersenyum karena penderitaan, ingatlah kami saudaramu
Di Palesina. Niscaya bibir dan hatimu tergugah
Menjadi pelangi rupa warna
Adakah diantara kalian yang ingin titip sekedar salam

Esok sebelum matahari terbit Kami kembali berjuang     

DIOU                                                                                      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...