Langsung ke konten utama

Sajak Segelas Kopi Hitam dan Sebatang Rokok


 
Perjuangan belum selesai
Malah bertambah gawat.
 
Tiga jarum jam
Seperti kincir angin dan anak-anaknya
Berputar dan bolak-balik
Di situ-situ juga.
 
Kutelan jagatmu
Sedikit demi sedikit.
 
Dan engkau!
Kuhisap ruhmu demi nafsuku.
 
Engkau bertualang menuju tiada.
 
Bara membakar tubuh dan ruhmu
Kuhembuskan lagi, menuju ayahmu.
 
Kuijinkan engkau pergi
Menuju langit malam
Dan kosongnya ruang
Antara langit dan bumi.
 
Juga engkau!
Hitam wujudmu
Ketakterdugaan esok
Tak pasti merayu.
 
Tampak serasi engkau
Berperangai dan berpola
Pahit dan manis, saling menjaga.
 
Konstruk macam apa?
Rumus kitab abstraksi yang mana?
 
Kalian berdua, sama-sama tiada
Pada akhirnya, aku juga!
 
2006



Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten 1 Januari 1978. Antologi puisinya berjudul Mazmur Musim Sunyi (Songsong Budaya, Juli 2005). Selain menulis puisi, saat ini aktif sebagai penggiat Jaringan Intelektual Mahasiswa dan Masyarakat Serang (JIMMS) di Serang, Banten, dan periset di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Komentar

  1. sajak lakilaki, yang tak jauh dengan secangkir kopi pahit dan sebatang rokok.
    kau pasti cumbui malammalammu, hingga begitu membuncah dalam kata, hmmm

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007