Langsung ke konten utama

Runyam


        teruntuk luska istriku

aku telah berhenti kagumi langit
dan tubuhmu yang telanjang
aku curi lewat gerhana
seperti amuk kuburan
semacam impianku yang samun
yang hanya dikenali pekik burung-burung
burung-burung yang senantiasa menjelma daun
daun kering di kakiku
daun-daun yang kerap aku bayangkan
berjuntaian di panjang rambutmu yang harum
di mana riwayat masa remajaku dipenuhi rasa mabuk
sepanjang denyut dendam iklim
yang memerangkap pengetahuanku
pengetahuan yang hanya dihuni bangku
bangku tua taman kota
yang dikepung pelapukan tahun-tahun
yang di sembarang ranjang hotel termesum
akan senantiasa menjerit, orgasme
runduk, semaput, bangkit lagi, mampus
lagi, setubuh lagi, orgasme lagi, menjerit lagi
semaput lagi, selalu seperti itu
berulang-ulang, bertahun-tahun, meski
di jam-jam sebelum subuh
kerap kuacungkan pistol ke jidatku
jidat di mana 100 runtuhan puing bekas plaza
pernah kau rajahkan tanpa takut sembari bercumbu
jidat di mana malaikat-malaikat terkufur
sering mendendangkan requim hijau lumut
ketika segenap rasa sakit menggenang
dan aku bersiul—memanggil kembali
sahabat tercinta: HANTU-HANTU!
tatkala payudaramu coklat membuntal
dan derita meledakkan meriam keterpencilanku
tepat di depan moncong bibir keperempuananmu
selagi butir-butir embun luruh
tuliskan lambang (mungkin juga mumbang)
—mengeras di kaca jendela kamarku
kamar yang senantiasa terlihat melengkung di kejauhan
kamar yang hanya menyimpan senyap surealita batu-batu
di mana mula segala mula
di mana akhir segala akhir
menumpuk, mabuk, lebur
dihirup habis harum hasis terkhusuk
di mana dulu untuk pertama kalinya
kukangkangi tubuhmu ranum
dan untuk pertama kalinya pula
kukenali kesunyian yang teguh itu
tatkala para peronda, perusuh, perayu
dan pemabuk di ujung kampung saling berdebat:
“manakah di antara mereka yang kan mati terlebih dulu?”
tatkala ujung pisau menelusup ke dalam perut:
“istriku, aku kini cuma mayat dengan peli sumpali waktu!”



*
Indra Tjahyadi lahir di Jakarta 21 Juni 1974. Alumnus Fak. Sastra Unair (2003). Menulis puisi, cerpen, dan esai, juga menterjemahkan karya-karya berbahasa asing. Karya-karyanya yang etrmuat di Horison, Kompas, Sastra, Puitika, Jurnal Puisi, Media Indonesia, Kidung, Republika, dan lain-lain. Sejumlah puisinya masuk dalam antologi bersama : Upacara Menjadi tanah (1996), Luka Waktu (TBJ, 1998), Penunggang Lembu yang Ganjil (DKS, 2000), Gelak Esai dan Ombak SAjak (Kompas, 2001), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Kompas, 2002) dan manifesto Surrealisme (FS3LP,2002). Pada tahun 1997, kumpulan puisinya yang berjudul Yang Berlari Sepanjang Gerimis memenangkan juara I Lomba Cipta Puisi Kampus nasional yang diselenggarakan oleh UI. Beberapa puisinya juga termuat di Big Lick Literary review : A  Multicultural Arts Ezine yang diterbitkan di Roanoke, Virgia USA dan Conestoga Literary Journal.


Puisi Nominasi Sayembara Puisi Puitika Edisi Mei 2006
Dengan Tema " Kematian dan Penderitaan"


Komentar Dukungan

Saya suka puisi ini. Idiom-idiom yang dipakai mampu membangun suasana  magis tentang penderitaan dan kematian dimaksud. Pengimajian puisi  relatif berhasil. Tentu, ini olah batin yang tak sederhana.  Selebihnya... saya seneng aja.

    "Udo Z. Karzi" <udozkarzi@yahoo.com>
____________________________________


Membaca puisi. Terus terang saya perlu membacanya
berulang-ulang, berlama-lama, memaknai. Namun ada yang
menarik bagi saya pada puisi ini. Yaitu tematik seks,
kriminalitas dan metafisik. Tentunya keberadaan puisi yang
melakukan pemberontakan bahasa seksual mendapat hantaman
besar saat ini, terkait dengan maraknya diskursus
Antipornografi dan pornoaksi, yang dapat dilihat dari
subststansi RUU APP sangat memasung kebebasan berekspresi.
Tema-tema seks,kriminalitas dan metafisik memang sangat
marak saat ini di berbagai media, namun keberadaanya
terkadang membuat muak dan memuntahkannya ke dalam
keranjang sampah. Sepertinya itu sangat berpengaruh sekali
terhadap pencitraan yang diserap oleh puisi ini dan
dijungkirbalikkan.
Saya rasa tema seks berbeda dengan orientasi seks, karena
penggarapan tema seks adalah sebuah kehidupan manusia itu
sendiri, sedangakan orintasi seks dapat kita maknai dengan
penanda ketergangungan dengan frame seks itu sendiri.
Sebuah daya penjelajahan antara seks, kriminalitas dan
metafisk, sangat m,enarik sekali. Kita bisa melihat pada
puisi ini.

Tema seks
yang di sembarang ranjang hotel termesum
akan senantiasa menjerit, orgasme
runduk, semaput, bangkit lagi, mampus
lagi, setubuh lagi, orgasme lagi, menjerit lagi
semaput lagi, selalu seperti itu
berulang-ulang, bertahun-tahun

Seperti pada penggalan puisi di atas, bahwa ada semacam
keterpaksaan atau pemaksaan dalam seks tersebut. Saya
tidak melihat adanaya sebuah penggalan kata-kata yang
membuat pikiran jorok. Melainkan ada kegetiran, ada
kekuasaan yang menghamtam dalam kabut selimut misteri
dalam seks itu sendiri.

Tema kriminalitas terdapat pada kuacungkan pistol ke
jidatku dan pada mabuk. Seperti kita ketahui secara
harfiah, bahwa mabuk dan usaha bunuh diri adalah sebuah
perkara criminal. Tentunya dengan dicerabutnya penggalan
teks tersebut dari konteks puisi tersebut secara
keseluruhan.

Kemudian tema metafisik, seperti pada malaikat-malaikat,
hantu-hantu, dan tentunya metafora-metafora yang tak
logis.

Sebuah perpaduan pesona puitik yang menarik. Terakhir dari
saya, tolak RUU APP.

   "Wahyu Heriyadi" <loser_radical@plasa.com>
________________________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...