Langsung ke konten utama

Pulang!

 
Masih gelap
Kelam bukan malam
Sepi tidak senyap…
 
Kilat melukis langit
Petir membelah mendung
Awan gelap pecah
Gunung berapi muntah
Topan melesus
Sungai-sungai dan laut pasang
Pohon-pohon tumbang
Alam kembali ke asalnya,
satu wujud tunggal: setitik air!
 
Dari celah molekul H2O
kucoba mengintip deklamasi alam:
 
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo'a kepada Kami
dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi
setelah kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali melalui
jalan yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo'a kepada Kami 2)
 
Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan
umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman 3)
 
Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti
mereka di muka bumi 4)
Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu
supaya kamu dapat menjadi pelajaran
bagi generasi sesudah kamu 5)
 
Air tenang bergelombang
Pohon-pohon rindang bermunculan
Burung-burung terbang melayang
Angin bertiup perlahan-lahan
Melantunkan nyanyian alam
Iramanya merdu mendayu
Melodinya harmonis
Liriknya puitis:
Dialah  Allah,
tiada Tuhan melainkan Dia,
Dia mempunyai al asmaaul husna 6)
 
Rasa rindu mengajakku kembali.
Pulang!
 
Tetapi masih adakah
pintu ampun untuk diketuk?
 
Di pintu-Mu aku terantuk
Malu mengetuk wajah tertunduk
Tiap musim tiba kuucapkan sama
Mohon maaf tanpa rasa bersalah
Tiap musim berlalu kuulangi dosa
Membuat maksiat seolah sah
Di pintu-Mu aku tersipu
Betapa sulit punya rasa malu.
                  
Tangan maha besar merenggut tubuhku
dari genangan air:
"Inilah takdirmu.
Rauplah air itu ke wajahmu.
Wudhu!"
 
Sungailiat, 29 Mei 2006
surtam@amin
surtam@bangka.go.id
 
1)Q.S. Al A'raf: 172                                                             
2)Q.S. Yunus: 12                                                             
3)Q.S. Yunus: 13                                                             
4)Q.S. Yunus: 14
5)Q.S. Yunus: 92
6)Q.S. Thaaha: 8


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007