Beberapa orang lagi bahkan mungkin tidak peduli dengan semua pertimbangan-pertimbangan serupa itu, walaupun di dalam hati kecil mereka ingin menjadi seorang penulis terkenal dan dikagumi. Tentu saja hal ini adalah penyakit yang juga mendera diri saya yaitu berusaha meraih keberhasilan dengan cara-cara instan. Dengan segera pula saya dapat melihat betapa tidak ada perkembangan berarti di dalam karya-karya dan tulisan-tulisan saya manakala saya berhenti dan mogok belajar, entah itu lewat pengkajian dari karya-karya orang lain maupun menelaah lebih jauh lagi saran dan kritik yang ditujukan ke alamat saya.
Sesungguhnya hal ini berlaku pula di dalam banyak hal lainnya. Dalam ranah tulis-menulis ini saya tidak yakin sepenuhnya bahwa seseorang dapat bergantung semata-mata hanya kepada bakat alamiah yang dimilikinya, karena untuk menjadi besar kita perlu memiliki bacaan-bacaan besar. Sebagaimana penulis-penulis besar tidak saja hidup dengan impian-impian besar melainkan terlebih lagi dari bahan-bahan bacaan besar yang dipelajarinya. Dengan kata lain untuk menjadi besar kita harus belajar pula untuk menafsirkan karya-karya orang lain. Namun apakah sejauh ini kita sudah cukup membuka diri? adakah kita cukup berbesar hati untuk menerima kritik dan juga saran? Permasalahannya pula adalah banyak orang yang berniat menjadi penulis besar namun malas membaca apalagi harus menafsirkan karya-karya orang lain. Bagi saya itu adalah sebuah kondisi yang absurd, yaitu apabila kita hanya tertarik pada karya-karya kita sendiri dan hanya punya satu minat agar karya-karya kita tersebut dapat dibaca oleh seluas-luasnya kalangan tanpa kita memiliki kemampuan untuk dapat memberikan apresiasi pada karya-karya orang lain.
Seorang penulis yang serius pertama-tama adalah sekaligus juga seorang kritikus bagi dirinya sendiri, dan oleh karena itu ia harus terbiasa dengan budaya kritik serupa itu. Bagaimana kita dapat melihat baik buruknya sebuah karya kalau kita tidak melengkapi diri kita sendiri dengan seperangkat penilaian. Ukuran-ukuran estetis itu secara tidak langsung juga akan menambah kepekaan intuisi kita dalam proses menulis karya-karya kita sendiri. Seiring dengan bertambahnya wawasan kita melalui proses belajar ini maka akan meningkat pula kepekaan kita di dalam mengeluarkan gagasan kreatif. Segala bentuk gagasan puitis umumnya lahir dari ungkapan perasaan dan sebagian lagi melalui perenungan pemikiran namun seberapa jauh gagasan itu dapat berhasil menyentuh perasaan orang lain tergantung pada banyak hal, yang antara lain adalah ditentukan oleh bagaimana caranya gagasan itu disampaikan dan juga oleh kemampuan resepsi pembaca.
Pembacaan sebuah puisi tentu saja adalah merupakan sebuah bentuk interaksi komunikatif antara sajak itu sendiri dengan pembacanya. Yang menjadi kesulitan dan sekaligus keunikan sebuah sajak adalah terletak pada lapisan-lapisan makna yang menyelubunginya, oleh karena itu sajak yang tampil dengan telanjang dan apa adanya seringkali dianggap sebagai sajak yang kurang berhasil, karena unsur-unsur puitis sebuah sajak seringkali terselubung di dalam pengimajian tertentu, di dalam lambang-lambang dan tentu saja metafora.
Keberhasilan seorang penyair di dalam menuangkan gagasan atau perasaanya seringkali lebih banyak dipengaruhi oleh keakrabannya dengan media komunikasi yang ia pakai, dan yang lebih utama lagi adalah pada kemampuannya untuk mengolah ‘kata’, karena ‘kata’ memegang peranan yang paling esensial di dalam sebuah sajak. Sajak bisa terdengar indah, menyentuh perasaan dan bahkan mampu menggerakkan emosi pembaca manakala kata-kata telah dipilih dengan tepat untuk mengungkapkan maksud yang terdalam dari apa yang dirasakan oleh sang penyair. Namun sekali lagi ‘kata’ di sini bukanlah sekedar ‘kata’ dalam artian yang apa adanya. ‘Kata’ dalam sajak harus dapat dibedakan dengan ‘kata’ di dalam berita surat kabar atau pun di dalam surat undangan pernikahan misalnya. Akan tetapi jangan pula keasyikan ‘kata’ menjadi sesuatu hal yang mubazir dan sia-sia karena sang penyair terlalu banyak mengumbar hasratnya dengan cara yang berlebihan.
Dengan terus-menerus belajar mengkaji karya-karya orang lain dan terutama dari karya-karya yang bermutu maka kita akan tahu dimana sebenarnya letak kekuatan sebuah karya sastra. Budaya kritik sesungguhnya tumbuh seiring dengan budaya cipta dan apa yang sejauh ini telah dilaksanakan oleh situs ini sebagai sebuah media alternatif di dalam meningkatkan mutu karya sastra kita adalah sebuah langkah maju yang harus kita acungi jempol dan kita dukung terus kelangsungannya. Salam kreatif.
Jakarta, 21 Juni 2006
Komentar
Posting Komentar