Langsung ke konten utama

Proses Belajar Di Dalam Penulisan Puisi

Banyak calon penyair seperti saya juga yang mungkin menulis sekedar menulis tanpa pernah berusaha menekuninya dengan sungguh-sungguh atau berusaha untuk menjadi ahli. Dan oleh karenanya sebagaimana ditengarai oleh Saut Situmorang bahwa di dalam jagad kepenyairan ini begitu banyak bertebaran dilettante dan hanya ada segelintir saja maestro. Banyak pula diantara kita di dalam proses penulisan puisi-puisinya cenderung sekedar menuruti kemauan kata hati tanpa ada upaya untuk menggabungkannya dengan teori, yang sesungguhnya dapat menunjang keahlian kita di dalam menulis.

Beberapa orang lagi bahkan mungkin tidak peduli dengan semua pertimbangan-pertimbangan serupa itu, walaupun di dalam hati kecil mereka ingin menjadi seorang penulis terkenal dan dikagumi. Tentu saja hal ini adalah penyakit yang juga mendera diri saya yaitu berusaha meraih keberhasilan dengan cara-cara instan. Dengan segera pula saya dapat melihat betapa tidak ada perkembangan berarti di dalam karya-karya dan tulisan-tulisan saya manakala saya berhenti dan mogok belajar, entah itu lewat pengkajian dari karya-karya orang lain maupun menelaah lebih jauh lagi saran dan kritik yang ditujukan ke alamat saya.

Sesungguhnya hal ini berlaku pula di dalam banyak hal lainnya. Dalam ranah tulis-menulis ini saya tidak yakin sepenuhnya bahwa seseorang dapat bergantung semata-mata hanya kepada bakat alamiah yang dimilikinya, karena untuk menjadi besar kita perlu memiliki bacaan-bacaan besar. Sebagaimana penulis-penulis besar tidak saja hidup dengan impian-impian besar melainkan terlebih lagi dari bahan-bahan bacaan besar yang dipelajarinya. Dengan kata lain untuk menjadi besar kita harus belajar pula untuk menafsirkan karya-karya orang lain. Namun apakah sejauh ini kita sudah cukup membuka diri? adakah kita cukup berbesar hati untuk menerima kritik dan juga saran? Permasalahannya pula adalah banyak orang yang berniat menjadi penulis besar namun malas membaca apalagi harus menafsirkan karya-karya orang lain. Bagi saya itu adalah sebuah kondisi yang absurd, yaitu apabila kita hanya tertarik pada karya-karya kita sendiri dan hanya punya satu minat agar karya-karya kita tersebut dapat dibaca oleh seluas-luasnya kalangan tanpa kita memiliki kemampuan untuk dapat memberikan apresiasi pada karya-karya orang lain.

Seorang penulis yang serius pertama-tama adalah sekaligus juga seorang kritikus bagi dirinya sendiri, dan oleh karena itu ia harus terbiasa dengan budaya kritik serupa itu. Bagaimana kita dapat melihat baik buruknya sebuah karya kalau kita tidak melengkapi diri kita sendiri dengan seperangkat penilaian. Ukuran-ukuran estetis itu secara tidak langsung juga akan menambah kepekaan intuisi kita dalam proses menulis karya-karya kita sendiri. Seiring dengan bertambahnya wawasan kita melalui proses belajar ini maka akan meningkat pula kepekaan kita di dalam mengeluarkan gagasan kreatif. Segala bentuk gagasan puitis umumnya lahir dari ungkapan perasaan dan sebagian lagi melalui perenungan pemikiran namun seberapa jauh gagasan itu dapat berhasil menyentuh perasaan orang lain tergantung pada banyak hal, yang antara lain adalah ditentukan oleh bagaimana caranya gagasan itu disampaikan dan juga oleh kemampuan resepsi pembaca.

Pembacaan sebuah puisi tentu saja adalah merupakan sebuah bentuk interaksi komunikatif antara sajak itu sendiri dengan pembacanya. Yang menjadi kesulitan dan sekaligus keunikan sebuah sajak adalah terletak pada lapisan-lapisan makna yang menyelubunginya, oleh karena itu sajak yang tampil dengan telanjang dan apa adanya seringkali dianggap sebagai sajak yang kurang berhasil, karena unsur-unsur puitis sebuah sajak seringkali terselubung di dalam pengimajian tertentu, di dalam lambang-lambang dan tentu saja metafora.

Keberhasilan seorang penyair di dalam menuangkan gagasan atau perasaanya seringkali lebih banyak dipengaruhi oleh keakrabannya dengan media komunikasi yang ia pakai, dan yang lebih utama lagi adalah pada kemampuannya untuk mengolah ‘kata’, karena ‘kata’ memegang peranan yang paling esensial di dalam sebuah sajak. Sajak bisa terdengar indah, menyentuh perasaan dan bahkan mampu menggerakkan emosi pembaca manakala kata-kata telah dipilih dengan tepat untuk mengungkapkan maksud yang terdalam dari apa yang dirasakan oleh sang penyair. Namun sekali lagi ‘kata’ di sini bukanlah sekedar ‘kata’ dalam artian yang apa adanya. ‘Kata’ dalam sajak harus dapat dibedakan dengan ‘kata’ di dalam berita surat kabar atau pun di dalam surat undangan pernikahan misalnya. Akan tetapi jangan pula keasyikan ‘kata’ menjadi sesuatu hal yang mubazir dan sia-sia karena sang penyair terlalu banyak mengumbar hasratnya dengan cara yang berlebihan.

Dengan terus-menerus belajar mengkaji karya-karya orang lain dan terutama dari karya-karya yang bermutu maka kita akan tahu dimana sebenarnya letak kekuatan sebuah karya sastra. Budaya kritik sesungguhnya tumbuh seiring dengan budaya cipta dan apa yang sejauh ini telah dilaksanakan oleh situs ini sebagai sebuah media alternatif di dalam meningkatkan mutu karya sastra kita adalah sebuah langkah maju yang harus kita acungi jempol dan kita dukung terus kelangsungannya. Salam kreatif.


Jakarta, 21 Juni 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...