Kemudian, engkau dan aku
Membagi waktu
Mematuhi jam dan almanak
Serta mesin-mesin tak berotak.
Kau benahi setelanku
Begitu patuh kancing-kancing baju
Mentaati perintah jari-jariku
Setelah itu, tanganku menggoyang dagu.
Sebagaimana biasanya, kerja adalah firman
Yang paling suci, amat murni
Untuk mereka yang punya kewajiban
Atau hutang yang belum dilunasi.
Begitu setia kau melindungi kakiku
Dalam panas siang
Atau lembab hujan
Tak pernah mengeluh dan mengadu.
Tanpa pengorbananmu
Paku yang menusuk telapakku
Sepenuhnya akan masuk ke dagingku
Tapi kita berbagi, engkau dan aku.
Sahabatku, seorang wanita
Pernah diterkam anjing gila
Tapi berkat engkau, temanku
Kakinya tak terluka
Malah tubuhmu, membuatku haru
Pantas saja Van Gogh mengagumimu.
Kau sahabatku, temannya siapa saja
Begitu patuh melayani manusia
Pernahkah mereka berterimakasih padamu
Atau menyanyikan satu puisi untukmu.
Kurawat dan kujaga engkau temanku
Sebab kau satu-satunya,
Bertahun-tahun aku menghormatimu
Karena kau menyelamatkanku
Dari sangsi peraturan kerja.
Ketika itu aku langsung jatuh cinta
Dengan keelokan dan rampingmu
Kubebaskan engkau dari rak toko tua
Dan langsung mengajakmu ke dunia baru.
Aku bawa engkau ke kota dan pelosok
Tapi engkau tak pernah tersenyum
Tidak juga marah atau mengolok
Hanya diam dan melamun.
Aku tahu engkau sakit hati
Menciumi bau busuk kaus kaki.
Sudahlah! Toh engkau selalu tabah
Tak pernah galau atau menggundah
Engkau ajari aku untuk berjerih-payah.
Sekarang aku tuliskan satu puisi untukmu
Kan kunyanyikan ke segala tuju
Bersamamu, engkau dan aku.
Aku namakan lagu itu
Ode untuk sahabatku, Sang Sepatu.
2006
Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten 1 Januari 1978. Antologi puisinya berjudul Mazmur Musim Sunyi (Songsong Budaya, Juli 2005). Selain menulis puisi, saat ini aktif sebagai penggiat Jaringan Intelektual Mahasiswa dan Masyarakat Serang (JIMMS) di Serang, Banten, dan periset di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
Komentar
Posting Komentar