Langsung ke konten utama

Mazmur Jalanan


 
Sekelok lempang perjalanan, dengan bekal di genggam tangan, hatimu diam bermalam-malam, kegelapan dikabuti kelelawar bayangan, menggantung mencucuki langit siang, kita semua menunggu kelahiran.
 
Sebatang pohon menenggak tuak kubur dan barzah
            Serupa Malaikat yang melahap jenazah basah
                        Tuhan yang melihatnya bingung dan gelisah
                                    Makhluk-makhlukku hidup saling mengunyah
                                                Kelahiran dan kematian berbagi resah.
 
Di jalan aspal, hidrogen adalah sulfat nafas kemacetan
            Amarah di mual lambung digilas roda dan ban.
 
Asma dan pening kepala
            Buah kitab abstraksi, dibangun dengan batu-bata
                        Arsitektur rumah sakit-rumah sakit kota.
 
Di kota, diam dan bosan begitu teramat tabah
Warung remang, cafe tengah malam, tarian Escort merangkap biduan
                        Hanya para penyalin gundah,
                                    Di kemacetan dan asam sulfat hidrogen pernapasan.
 
Gagasan paling baru seorang Profesor,
            Tak berdaya menghadapi rambu-rambu jalan,
                        Kepala yang mirip tanah longsor,
                                    Semual kopi Starbucks Cafe Kemang
 
Orang-orang berdebat tentang Teologi murahan dan politik kaum urban,
            Serupa Gipsy mendendang kidung Nabi Sulaiman yang flamboyan,
                        Sama asamnya dengan sulfat pernapasan kemacetan jalan aspal siang.
 
Kita berdebat tentang Soren Kierkegaard dan Kant,
            Serupa Mamalia memamah sisa makan siang.
 
Bukankah Iman hanya hiburan yang gamang?
            Dan kopi hitam Cafe Kemang yang mual dan asam
                        Adalah hati kita sendiri yang masam?
                                    Menjadi hutan naung ragam binatang?
                                                Yang garang ketika bosan: senyawa asam sulfat dan kemacetan jalan aspal siang kota metropolitan.
 
2006



*
Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten 1 Januari 1978. Selain menulis puisi, saat ini ia aktif sebagai periset di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta dan Jaringan Intelektual Mahasiswa dan Masyarakat Serang (JIMMS) di Serang, Banten. Antologi Puisi pertamanya adalah Mazmur Musim Sunyi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...