Langsung ke konten utama

Konstantinovna

Di malam yang berprahara ini
ku coba mengetuk pintu malapetaka
yang berdiri kokoh dan anggun
bagi Kengerian yang akan dimuliakan



Konstantinovna!
Ku ukir sumpahku yang menyejarah
bagi sebuah kematian yang kekal
kematian yang paling kubenci
sehingga ingin kurasakan lebih dalam
Karena telah ku mulai hari yang indah
tanpa pernah merasakan keseimbangannya
Hari dimana kekejaman akan berubah
menjadi sebuah impian tentang keabadian
tanpa menghianati jerit kenyataan
Petrograd yang dingin meradang
malam tanpa keteraturan cahaya
‘kan ku tarik beberapa pelatuk kematian
sebagai keadilan yang paling adil dalam sejarah!
Dimana semua orang akan mencintaiku dengan tragisnya
Konstantinovna!
Bagi sebuah penderitaan yang tergadai
dibalik semua perasaan yang membeku
Ku agungkan beberapa letusan
untuk menghapus kesengsaraan
dan kepiluan tentang dunia
Dunia yang tidak akan kita mengerti
dimana ujung harinya
atau kita telah berdiri di ujungnya!
Dan musim dingin tahun 1929
tepat di bawah malam kepedihan
yang telah membisu dari keliarannya
Telah kuhancurkan sebuah kemurkaan
yang lebih dingin dari kebenarannya yang kekal
Konstantinovna!
berilah senyummu yang indah
untuk terakhir kalinya di Petrograd yang rapuh
sama seperti kau telah memberi senyum
di Kishinev yang terbuang
oleh kejamnya kekuasaan
Walau sejarah telah menguburnya
dengan segala kepalsuan cinta
dan roman setiap ketragisan
Tetapi itu adalah kehidupan yang sempurna
sama seperti kau pernah menghujatnya
“Runtuhlah wahai kemunafikan yang abadi!”
Konstantinovna yang agung… Selamat tinggal!


Juni 2006, Leonowens SP

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007