Langsung ke konten utama

Komang



halaman sepi ketika baumu tiba
arung rohmu menyisakan jelaga di ruang mataku
pagi pertama di Toledo dan kutenggak pahit kenanganmu

di alun-alun besar Zocodover Square
orang-orang menikung mengunyah remah waktu
anak-anak perawan bergelayutan di bahu kekasih
berbagi selagi kata belum habis
kudapati pias ketiadaanmu masih saja mengekorku
aku membeku
teraduk sisa zaman dan peristiwa
lantas di mana kau mau kumusnahkan total
takbersisasetitikjuapun?

di El Cristo de la Luz
ingat?
bangunan-bangunan bisu sekelilingnya
tapi aku menangguk banyak-banyak senyummu waktu kau
mengambil
tanganku dan menciumnya santun
ingat?
di situ bisikmu `aku rindukan pulang hendak akhiri
dera kejam pada
riak darahku'
sedikit senyum lagi sementara air mataku jatuh pada
hitam rambutmu
terus hingga guncangannya pepatkan seloroh dadaku

aku kembali, Komang
masih membawamu di beranda ini
pergilah dalam nyanyiku yang samar
ijinkan aku simpan sisa senyum pada detik Ia
menghampirimu
hanya itu milikku



*
Laura Paais lahir di Surabaya, 4 Agustus. pekerjaan saat ini sebagai writer di Ogilvy & Mather jakarta. Pengalaman menulis di majalah Femina, Gadis dan menulis kumpulan puisi pribadi perjalanan.


Puisi Nominasi Sayembara Puisi Puitika Edisi Mei 2006
Dengan Tema " Kematian dan Penderitaan"


Komentar Dukungan



S
edih dan kesendirian karena kehilangan.
tapi pada akhirnya rela...

bagus sekali

"Astrid" <astrid@cwsindonesia.or.id>
_______________________________


sebuah alunan kata yang begitu berkesan, bagaimana ketika kematian dan penderitaan diungkapkan dangan begitu lembut.
 
  di situ bisikmu `aku rindukan pulang hendak akhiri
  dera kejam pada
  riak darahku'
  sedikit senyum lagi sementara air mataku jatuh pada
  hitam rambutmu
  terus hingga guncangannya pepatkan seloroh dadaku
 
  andai ketika kalian akan membacanya , ataupun  kita  terlewat, coba baca judulnya begitu menggoda dan memang kemampuan berkatakata begitu dahsyat.
bravo n tabik

"Geri Sugiran AS"<wiji_tukul@yahoo.co.id>
_______________________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...