1 siang, di panasnya kwitang
aku kepik busuk menari-nari.
tanya baca ratusan buku, kanan-kiri
melihat wajah si abang merah padam
karena ku tak juga beli.
4 sore, dimasjid senen
menyungkur sujud, meriba doa.
9 malam, di medan merdeka
sudirman,sarinah dan plaza indonesia
melihat lampu dan penjaga istana.
putar-putar bersama sahabat secangkir
teriaki pelacur yang sibuk nyengir.
2 pagi, di rumah loji
aku kepik busuk menangis sendiri
duduk simpuh, bersujud menutup tabir.
Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”
Komentar
Posting Komentar