Langsung ke konten utama

Edisi Mei 2006

SEPASANG MAUT

kami dikejar kejar bayangan laut yang menyimpan maut
setiap sudut ruang dan kegelapan
menyisakan takut dan rasa kalut

di mana peristirahatan paling nyaman
jika kamar begitu menakutkan?

kami yang suatu pagi dibangunkan gemetar bumi
tak hendak menjadi saksi
karena inci demi inci tubuh kami mulai mati
oleh haru dan rasa nyeri
waktu beringsut
menyeret kami pada putaran yang itu-itu juga
;bau mayat dan barisan panjang pusara
begitu saja kami dijegal. mimpi kami dicekal, dan rencana-rencana
menjadi batal. tak ada yang berniat menggali kubur,
tak ada yang berkehendak mengambil cangkul
kami hanya digayuti rasa lelah dan capek menyaksikan
banyak peristiwa penting dan tak penting lainya
menumpuk, membukit, tumbuh serupa cerobong
mengalirkan larva dan pijar api
begitu-begitu saja.

sebagian kami memilih lembur
sebagian meminum obat tidur
sepasang pengantin lelap oleh haru-biru
subuh begitu bening
penuh dengan rencana dan harapan

pagi semestinya suka cita
yang riang. dimana matahari membuncahkan berkah;
kami bekerja dan anak-anak sekolah

ini pagi lain yang tak kami temukan dalam mimpi sekalipun
bahkan sekedar ingatan pun betapa enggan
ia datang tanpa mengetuk pintu
menggantungkan kematian di tiap dinding

sejak kini, rumah menjelma hantu
kamar serupa maut yang mengintai siapa saja
tempat yang paling aman sekalipun
menyimpan kesumat dan bara dendam

oh, sepasang pagi yang menjelma sepasang maut
mengintai kami dan penjuru kota

kami dikejar kejar bayangan laut
yang menyimpan maut
setiap sudut ruang dan kegelapan
menyisakan takut dan rasa kalut



*
Indrian Koto, lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, sebuah perkampungan kecil di Pesisir bagian Selatan Sumatera Barat. Menyukai sastra dan saat ini tengah bergiat mendalaminya. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial & Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tengah berjuang melawan malas dan ego di Komunitas Rumahlebah Yogyakarta. Bersama kawan-kawan mendirikan sebuah Forum Kajian Diskusi dan Analisis yang disingkat dengan Fodka yang serius mengkaji sosial-budaya serta aktif di Sanggar Jepit Jogjakarta. Sempat pula belajar bersama di Balai Anak Pinggiran (BAP) dan Paguyuban Wartawan Cilik. Belajar bersama kawan-kawan penulis muda lainya di Wisma Poetika. Beberapa tulisannya pernah dimuat di beberapa media, diantaranya; Koran Tempo, Kedaulatan rakyat, Bernas, wawasan, Solo Pos, Minggu Pagi, Lampung Post, Riau Post, Padang Ekspres, Cempaka dan lainnya. Puisinya juga termuat dalam antologi bersama; Nubuat Labirin Luka (2005).

Puisi ini terpilih sebagai Puisi Bulan Ini Edisi Mei 2006dengan tema "kematian dan penderitaan" setelah melalui mekanisme pemilihan oleh Editor Puitika.net dan penjurian secara langsung oleh pembaca.


Komentar Dukungan





Dasyaaaat, aku suka. Dia benar, kematian selalu datang tiba-tiba. dan aku setuju
itu.tanpa persiapan apa-apa dia telah menelan kita begitu saja. selamat. siapa pun
kau, aku suka puisimu.....

"Rian tanjung" <rian_tanjuang@yahoo.co.id>
_______________________________________



Begitulah. aku langsung menyukainya. tak ada apa-apa lagi yang bisa kukatakan selain itu.

"buyung padang" <rang_padang@yahoo.co.id>
_______________________________________


Saya suka puisi yang berjudul "Sepasang Maut".
Tiba-tiba perasaan saya tersintak dan teringat kembali
akan bencana-bencana yang menimpa bangsa Indonesia
akhir-akhir ini. Terutama di Jogja. Latarnya khas
sekali. Dengan nada yang berirama, puisi yang tadinya
membuat merinding (sebab isinya banyak mengumbar
kematian) menjadi enak dibaca.

"iggoy elfitra" <iggoy_elfitra@yahoo.com>
_______________________________________

dahsyat sekali puisi sepasang maut. entah siapa yang mencipta.
tapi membaca dengan kedalaman hati saya, saya mengira penulisnya bukan
sembaranganan. keharmonisan bahasa, estetika, dan rasa yang dipadukan adalah
sebuah kombinasi yang luar biasa. saya merasa di telanjangi dan giris. Ihhh.
aduhai, puisi sebagus itu sayang kalau tidak menang....
salam kenal untuk penulisnya
Jusuf AN

"jusuf amien" <jusufamien@yahoo.com>
________________________________________


Aku suka puisi ini. Tentang peristiwa harian kita, dimana kematian begitu akrab
(meniru Subagio S) dan itulah yang terlontar di bait puisi ini. ketakutan akan
sebuah waktu, dimana ia menjadi begitu kejam. satir dan pahit. tapi bagaimana pun
hidup terus dijalani. tak ada pilihan lain. begitulah waktu...

"sang hina" <pecintamalang@yahoo.com>
________________________________________

Sepasang maut, saya suka puisi ini. bukan berarti yang lain gak keren juga lo...
tapi dia nempel banget. bagiku puisi ini semacam peringatan dan ancaman. jadi susah bobok neh... he..he..

"yanti manis" <yanti_manis22@yahoo.co.id>
_______________________________________




Komentar

  1. rossy29860@yahoo.com20 Oktober 2009 pukul 09.52

    Ini puisi bagus walau panjang tapi tak membosankan ,kata kata yang dipilihnya tepat dalam irama juga mampu menggambarkan suasana seperti kata kata,,kami dikejar bayangan laut yang menyimpan maut disudut ruang dan kegelapan...dan seterusnya adalah pengungkapan yang sangat berhasil sepertinya kita ikut mengalami peristiwa yang sangat mengerikan itu.dan cara penyampaiannya membuat kita terpana dengan ungkapan2nya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...