Langsung ke konten utama

Pantun Nasihat : Hikayat Si Belang


-------sebuah pantun nasihat…

 

Sungguh indah istana sultan
Dindingnya pualam lantainya kaca
Inilah hikayat si belang jantan
Iktibar hati petuah jiwa

 
Syahdan di masa dahulu kala,
Di hutan teduh di hulu kuala
Si belang hidup layaknya raja
Berkedip mata rakyat tak kuasa.

 
Pelanduk berkisah belang yang kejam
Menjual hutan pada serigala jahanam
Rimbunan hijau pun jadi silam
Berpuluh puak hidup terancam

 
Kerap belang berjalan lagak,
Turut di sisi si culas gagak
Hutan dibagi petak sepetak
agar sejahtera anak beranak


Kala si belang bertitah pandir
Seluruh khalayak haruslah hadir
Dengar, patuhi, jangan berfikir
Jika tak ingin hidup berakhir


Di hujung kisah meradanglah Sultan
Amar hukum pun menggelegar bersahutan
Mantra bersenandung menghentikan awan
Akhirnya gemuruh bumi pun menjangkau hutan

 

Musim itu musim penghujan
Seluruh rakyat berteduh badan,
Si belang rungsing sekujur badan
Sebab gagak bisikkan amarah Sultan

 
Seketika air kuala seakan terbang
Arusnya menghantam seberang menyebrang
Mahoni, jati pun menjadi alang-alang
Tercerabut, terangkat, terjerembang silang menyilang.

 

Angin hitam membuai pelan
Menerbangkan lalat laknat berkaki kuman
Hilang lah satu persatu karib dan kawan
Membujur kaku bersisi sisian

 

Di balik bukit khalayak bertikai
Bunuh membunuh bantai membantai
Terserak jasad menjadi bangkai
Ikatan kerabat pun jadi terburai

 

Di hujung kisah belang termangu
Rakyat dan kerabat musnah satu persatu
Riuhnya hutan pun berubah kelu
Karena amanah tersingkir nafsu

 

“Hai belang raja durjana,
Wakil hamba pengkhianat amanah,
Betapa matamu buta melihat tanda,
Tiada kuasamu bagi-Ku, walau sebiji zarah”

 

“Hai belang raja durjana,
Munafik handal perompak wahid,
Sebelum ini kuhadiahkan kau surga,
Namun fikir bijakmu bekerja pelit.”

 

“Hai belang, makhluk gagah tanpa kuasa,
Kau paksa Aku mengurai amarah,
Kutiupkan sedikit berangku bak sangkakala,
Semoga ini tercatat dalam sejarah.”

 

Dihujung kisah, di akhir cerita,
Amarah Sultan masih tersisa,
Belang terjerembab disisi singgasana,
Terkurung jeruji berpagar mantra .

 

Biarlah iktibar ini berwarna lara,
Semoga semuanya dijadikan ilmu,
Kelak nanti tak kan ada bencana,
Hanya karena penguasa bertuhankan nafsu.

 

Semoga sang-bijak kelak jadi penguasa,
Bila kata diucap, hati pun serta,
Peluhnya manis amalan taqwa,
Kepada rakyat berhutang bahagia.

 

Inilah pantun berkisah nasihat,
Dari celoteh kosong, si pakcik ahmad,
Maaf diminta ampun disemat,
Bila kata-kata hamba menuai umpat.

 

Semoga Allah jadikan kita hamba berfikir,
Dan jauhkan kita dari hati yang fakir.

 
Cptt/ 22-26-maret-06  : 00:36



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...