Langsung ke konten utama

Nubuat Labirin Luka

Masih saja sosok Munir (seorang pejuang HAM di Indonesia yang wafat dalam perjalanan menuju Belanda) mengalirkan simpati dan rasa kagum dari mereka yang ditinggalkan. Buku yang diterbitkan setelah setahun lebih wafatnya sang pejuang kemanusiaan ini merangkum puisi-puisi dari berbagai penulis dan penyair Indonesia yang tersebar di pelosok nusantara dan bahkan melewati batas geografis negara. Tidak ada kata selain semoga puisi-puisi ini bisa menjadi kenangan yang manis sekaligus melecut nurani pembaca bahwa keadilan sampai kapanpun akan terus diperjuangkan meski sang tokoh telah lama berpulang.

Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi Untuk Munir


Asep Sambodja, et.al.
Penerbit Sayap Baru & AWG
Cetakan I, November 2005
146 halaman

Salah satu puisi dari antologi :

Nubuat Para Penyair


: Cak Munir dan Kita
oleh Sihar Ramses Simatupang

Barangkali, kita akan bergiliran dimangsa sejarah. barangkali mereka sedang mengendap-endap agar mimpimu pun melindap.

saat almanak telah dikoyak
dan tanggal kematian lebih rawan dari tanggal kelahiran
lalu nafas terakhir mu pun tak semekar saat di pembaringan.

maka, lihatlah, bendera di depan rumahmu telah menjelma jadi ungkapan perkabungan. bukan lagi merah putih dalam nafas kebanggaan, tapi warna putih dalam ungkapan yang penghabisan.

mari siap berlafadz, tanpa rasa takut
bila pun pena akan dibenamkan.
dan seuntai biografi akan dihapuskan
setelah mengungkap sebuah syair kebenaran.

masih akan ada yang gagal dalam pertarungan besok
siapkan altar penyerahan!
: sebuah nama masih akan terbenam
sebelum fajar tiba.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007