Langsung ke konten utama

Namaku Perempuan

Perempuan selalu saja menjadi tema yang menarik untuk dibicarakan terlebih jika yang berbicara adalah perempuan itu sendiri. Buku kumpulan puisi yang ditulis oleh lima perempuan dengan latar belakang yang berbeda memberikan rasa beragam namun tetap dalam koridor tema yang diisyaratkan. Jika anda belum membaca buku ini dan hanya mendengar bahwa buku ini adalah kumpulan "ibu-ibu arisan" tentunya perlu membaca teks-teks puisinya secara langsung. Siapakah yang bernama perempuan? Baca dan nikmati langsung antologi ini.

Namaku Perempuan


Ratih Sanggarwaty, NUngky Irma Nurmala
Nani Tandjung, LIntang Sugianto, Srikandi Hakim
Penerbit Gramedia Pustaka
Cetakan I, Februari 2006
189 Halaman

"Buku ini menyampaikan kisah-kisah kecil penderitaan batin orang-orang yang merasakan akibat bencana Tsunami. Bahasa berirama yang dipilih penulis-penulis perempuan ini secara lembut menyampaikan pesan-pesannya, dengan irama yang sesuai benar dengan alur nafas pembaca.
Pembaca akan menikmati poetis ini tanpa merasa terkendala oleh makna maupun bentuknya"

Toeti Adhitama

Salah satu puisi dalam antologi:

Namaku Perempuan


Ratih Sanggarwaty

Akulah perempuan...
yang dilahirkan oleh seorang perempuan
Perempuan itu cantik bak bunga merona di desanya
Dan seorang pria telah beruntung dapat meminangnya
Bapak adalah panggilan pria itu selama hidupnya
Akulah perempuan ...

Yang ditimang-timang oleh seorang perempuan
Yang perempuan itu menjadi kepala keluarga
Perjuangannya untuk tetap bertahan luar biasa
Tak kenal lelah ia bertahan dan terus bertahan

Akulah perempuan ...
Yang dibesarkan oleh seorang perempuan
Yang ketika perempuan itu kudapati mengucurkan airmata
Kutanya, "kenapa?"...ia menggelengkan kepalanya
Kutanya lagi, "ada apa?"...dia tunjukkan kelingkingnya
Yang patah dan urat-urat yang menipis di kelingking kecil itu

Akulah perempuan...
Yang dijaga oleh seorang perempuan
Yang ketika perasaan perempuan itu tak terjaga
Ketika perpisahan hampir terjadi di antaranya
Maka kuambil pisau dan kukatakan, "bunuh aku dulu, kemudian berpisahlah."

Akulah perempuan ...
Yang dihidupi oleh seorang perempuan
Yang ketika perempuan itu merasa lelah
>Dan tenggelam dalam lautan sumpah serapah
Maka akulah yang menggandeng keinginannya untuk berpisah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...