Langsung ke konten utama

Malam Peluncuran "Dialog-Dialog Sumbang"

Setelah kurang lebih satu tahun dari peluncuran bukunya yang terakhir “ Jangan Menangis Kekasihku”, tepat hari Selasa tanggal 23 Mei 2006, ARS Ilalang kembali melaunching antologi puisi terbarunya yang berjudul “Dialog-Dialog Sumbang”. Penyair yang sempat dimuat profilnya di Puitika.net (Jejak penyair –Red) mengirimkan sejumlah pesan melalui friendster dan teks SMS prihal hajatannya kali ini dan juga berlaku sebagai undangan terbuka bagi siapapun yang berminat untuk hadir.

Saya yang kebetulan dihubungi oleh editor kepala Puitika.net (Oktarano Sazano) kurang lebih dua hari sebelum hari-H nya merasa senang kaena bisa berjumpa langsung dengan cak Rego, panggilan akrab ARS Ilalang. Alat perekam beserta notes kecil yang berguna untuk mewawancarai mereka yang terlibat dan juga pembacaan puisi langsung dari acara (dapat anda nikmati di bagian Download bagian Acara Bertajuk Puisi)

Malang, selepas Isya 23 Mei 2006 pukul 19.15.
Saya bergegas menuju kafe Gama yang terletak di bilangan jalan Watugong, Ketawanggede Malang. Sebagai pengetahuan untuk pembaca, kafe yang selain menjual makanan dan minuman siap saji ini juga acapkali dimanfaatkan sebagai tempat untuk acara kesenian contohnya, diskusi musik Indie, pameran lukisan, pemutaran film dan peluncuran buku. Di tempat ini pula sejumlah nama seperti Lintang Sugianto, Nanang Suryadi, Oktarano Sazano, dan lainnya pernah singgah untuk meluncurkan buku mereka. Mengingat lokasi kafe yang dekat dengan kampus Unibraw sungguh tidak mengherankan jika mayoritas pelanggan yang datang untuk bersantap adalah mahasiwa/i. Alasan ini pula yang mungkin mendorong ARS Ilalang untuk membedah dan mendiskusikan antologi puisinya yang terbaru ditempat ini. Menarik sebanyak mungkin perhatian kawula muda Malang untuk mengapresiasi karya sastra khususnya teks puisi.

Acara dimulai sekitar jam 20.00 malam. Molornya acara lebih dikarenakan menunggu sebagian tamu yang belum datang karena cuaca yang tidak cukup bersahabat. Rintik-rintik gerimis yang menghujam kota Malang syukurnya tidak menjadi lebat padahal beberapa hari belakangan hujan turun dengan deras. Sembari menunggu, saya menyempatkan diri untuk mencicipi makanan siap saji di kafe ini. Menu yang ditawarkan cukup beragam, mulai dari ayam goreng plus nasi hingga steak yang harganya terjangkau untuk kocek ukuran mahasiswa. Setelah berfikir beberapa saat saya memutuskan untuk mencoba paket nasi ayam kremes dan segelas es jeruk seharga delapan ribu rupiah. Perlu dicatat bahwa makanan dan minuman tidak gratis tetapi harus dibayar oleh pengunjung yang datang. Strategi ini sebenarnya saling menguntungkan kedua belah pihak. Bagi mereka yang membuat acara tidak dibebankan biaya apapun dan timbal baliknya pengunjung yang datang akan membeli makanan dan minuman dari kafe.Pesanan datang beberapa menit kemudian. Tak lama berselang acara pun segera di mulai, alhasil jadilah saya mengunyah makanan dan mulai menyiapkan catatan.

Saya melemparkan pandang ke arah pengunjung kafe yang datang. Mereka terlihat antusias, cukup ramai. Mungkin ada yang memang berniat untuk menghadiri acara peluncuran atau cuma sekedar menikmati malam bersama teman-teman atau orang terkasih menikmati santap malam di kafe ini. Tetapi apapun motif kedatangan mereka suasana cair dan bersahabat segera melingkupi. Perhatian segera tertuju kepada Aan Coboy yang mengawali acara dengan membacakan puisi dari antologi “Dialog-Dialog Sumbang” , disusul dengan Ragil Sukriwul setelahnya. Tepat pukul 20.20 acara inti yaitu Bedah Buku pun dimulai. Beberapa pembicara telah siap untuk mengulas buku ARS Ilalang. Pembicara yang menjadi pembedah malam itu adalah M. Nasrul Chatib (Dosen Sastra UB) dan Dodik W. Pribadi (Wartawan Kompas).

Saat acara berlangsung saya melihat rekan-rekan penyair kota Malang serta penggiat komunitas teater yang hadir sebagai tanda penghargaan atas produktivitas dan sepak terjang penyair yang lahir di Nganjuk, 7 Oktober 1973. Dengan latar belakang penulis yang cukup erat kaitan dengan komunitas teater, kehidupan jalanan serta pernah menjalani profesi sebagai supir dan petani tentunya banyak pihak yang mengharapkan bahwa karya ARS Ilalang yang terbaru akan memberikan nuansa yang berbeda.

M. Nasrul Chatib yang menjadi pembicara pertama menyampaikan beberapa pertanyaan sebagai lontaran untuk mendiskusikan lebih lanjut . Ia membayangkan dialog-dialog sumbang dalam beberapa hal akan sumbang, akan tetapi gaya bahasa diksi yang Rego pakai halus bahkan cenderung sopan. Tidak masalah karena ini sebuah pilihan. Ketika Rego sudah memilih berdiri pada posisi seperti itu, seorang penyaji kata yang santun dan menghadirkan fenomena sosial dalam puisinya dengan begitu sopan dan halus, tidak meledak-ledak, ada beberapa hal yang mau tidak mau tidak tersampaikan. Satu hal yang ia tengarai dalam kumpulan ini, Rego sepertinya ogah bercengkrama dengan wanita. Secara keseluruhan hanya satu atau dua saja. Ia sempat salah sangka dengan kebrewokannya. Kemudian gejolak sosial yang ditangkap oleh Rego dalam puisinya cenderung tidak nakal, ia sendiri secara pribadi berharap ada kekasaran-kesasaran dalam puisinya karena itulah realita kehidupan, kasar, nakal dan kadang tidak adil. Kekurang ajaran dalam hidup menjadi samar. Yang menjadi masalah ketika judul buku puisi adalah Dialog-Dialog Sumbang, dialog itu tidak disampaikan oleh mereka-mereka yang juga sumbang. Mas rego seperti berdiri pada satu sisi kehidupan saja tapi tidak banyak menyentuh hal-hal kepahitan , kebobrokan yang memang dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dodik W. Pribadi melanjutkan mengulas buku ini. Ia mengungkapkan bahwa ia seorang yang tidak paham puisi. Ketika ia dihubungi bung Rego untuk mengulas buku puisinya respon pertama ia menolak karena tidak paham puisi, tapi penampilan bung rego yang santun dibalik kumis dan cambangnya membuatnya menyetujui dan mengambil resiko membuat ulasan puisi-puisi Rego. Menurutnya hal penting pertama dari puisi itulah esensi, nomor satu adalah pesan dan bentuk adalah cara berikutnya bagi penyair untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Ketika membaca puisi yang terjadi adalah proses menjadi bebas. Lebih lanjut Dodik W. Pribadi menjelaskan prihal Moment poetica (MP) . Pada diri setiap orang dibekali untuk memahami MP, suatu peristiwa yang mengguncangkan sendi estetik diri manusia sehingga diri manusia itu terkesan,. Dan betapa indahnya, bahwa MP ada pada diri setiap orang, siapapun itu. MP adalah instrumen kemanusiaan yang asasi. Dengan MP itulah bagi common people (orang kebanyakan) untuk memahami estetika secara bersama-sama. Permasalahannya MP berdiri di atas state of mind (SoM), kedirian kita yang permanen. Setiap kita memiliki SoM sesuai dengan latar belakang kita dan lainnya. Seperti tonggak batu dalam diri kita. Dua hal inilah bagi kita untuk bisa memahami puisi Cak Rego. Sekilas membaca puisi Rego agak melelahkan, frasa-frasa yang agak panjang dan lainnya.

Cak Rego sendiri tidak memberikan banyak tanggapan karena ia memberikan kebebasan sepenuhnya pada pembaca untuk menafsirkan sendiri puisi-puisinya. Ia juga menyempatkan menyampaikan rencana menerbitkan bukunya tahun depan jika ada dana untuk itu.

Forum dialog dibuka sekitar jam 21.30 malam. Sayangnya antuasiasme pengunjung yang sempat fokus di awal acara menurun energinya di bagian ini. Hal ini bisa dimengerti mengingat malam yang semakin larut saja. Hanya ada satu pertanyaan yang terlontar dari pengunjung seputar isi buku. Moderator yang melihat gejala rendahnya respon segera berinisiatif meminta Lies Analysa dan Win Herlambang membacakan puisi yang pada malam itu diringi oleh iringan musik akustik dari Symphony Accoustic dan Anak Belantara. Pembacaan Puisi oleh cak Rego menuntaskan acara. Puisi-puisi yang dibacakan nya Distorsi, Kavling Surga Telah Habis, Sajak Pemulung.

Pukul 22.00
Usai bercakap-cakap dengan beberapa rekan , saya memutuskan untuk pulang. Me
nurut saya acara cukup sukses walaupun masih ada kekurangan di sana sini.
Meski demikian patut diacungkan jempol untuk ARS Rego yang telah meramaikan agenda-agenda kesusasteraan di kota Malang. Kami tunggu karya-karyamu selanjutnya cak!


-- Syahrirul Habib Ramadhan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...