Kelopak senja di matamu itu seperti sembilu
menikam tangis, menusuk jantung lebam perempuan itu
Seperti tak ada malaikat yang datang
titikkan embun ke hati mereka
hati yang buta, yang selalu ingin berkuasa
Maka di tanah ini, masih saja tersisa cerita
garis-garis luka kian menganga dan selalu meredam tawa
hujan juga tak kunjung reda di hati anak-anak yang terlupa
meski ribuan kali senja mereka renda
Pun tidak, bulan di semenanjung murung matamu yang ungu itu
tersirat cahaya, bahwa ‘kan datang uluran tangan
atau setakat doa
dari mulut mereka yang berorama bangkai manusia
Inilah segala rahasia, yang tak mungkin kuceritakan lagi
karena negeri ini terlalu ngeri
untuk kelukiskan segala benci
Maka sudahlah, atau biarlah
kututup dengan lafal doa-doa
segeralah bumi menelan mereka!
*
Fitrin Jhadi, sebuah nama pena. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi terkumpul dalam buku Magi dari Timur (Sagang, 2004), Rembulan Tengah Hari (Dewan KesenianRiau-Sagang, 2004), Seikat Dongeng tentang Wanita (Sagang, 2004), Satu abad Cerpen Riau (Sagang, 2004), Belantara Kata (SWA-UIR Press, 2004), dan Tafsir luka (Sagang, 2005). Aktif di Asosiasi Penulis Senapelan (Senapelan Writter Association-SWA) Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru sebagai ketua. Lahir di Telukpambang, Bengkalis, Riau, 10 Februari 1980. Kini tinggal di Pekanbaru.
Puisi Nominasi Sayembara Puisi Puitika Edisi April 2006
Dengan Tema " Anak-anak Kita, Anak Indonesia"
Dengan Tema " Anak-anak Kita, Anak Indonesia"
Komentar Dukungan
Dear All,
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menertawakan dirinya sendiri"-(Republik
BBM),"Bangsa yang Hancur adalah Bangsa yang Mencampakkan anak-anak bangsanya
sendiri"(Fakta).
Dengan hormat,
Betapa bangganya saya sebagai pemerhati membaca sepenggal puisi berjudul"
Anak-anak yang terlupa, ribuan kali merenda senja". melihat bangsa yang mengaku
besar ini malu rasanya melihat anak-anak bangsanya mati di jalanan tanpa nama
dinisannya,mati dijalanan karena menahan laparnya, dan yang paling menyayat
jantung hati bangsa ini karena mereka mati melihat ibu pertiwi memenggal jiwa
mereka lalu memakanya.., "Harimau tidak akan pernah memakan anaknya" kenapa bangsa
ini Bisa???????????
Salut Buat Penulis Puisi Ini, BRAVO!!!!
"surya dharma" <surya_d_fbx@yahoo.com>
_______________________________________
Mungkin puisi ini beraliran realis. keseluruhan diksi pada kalimat
ditulis secara lugas. yang menarik perhatian saya, jika dibanding
dengan puisi-puisi yang lain, disamping bahasanya mudah dipahami,
hampir keseluruhan ujung kalimat berbunyi sama, seperti pada salah satu
bait ini, Maka di tanah ini, masih saja tersisa cerita/ garis-garis luka kian
menganga dan selalu meredam tawa/ hujan juga tak kunjung reda di hati
anak-anak yang terlupa/ meski ribuan kali senja mereka renda
jikapun ada kalimat di setiap larik tidak memiliki persamaan bunyi,
namun ujung kalimat pada larik yang lain pasti sama.
Seperti tak ada malaikat yang datang/ titikkan embun ke hati mereka/
hati yang buta/ yang selalu ingin berkuasa
barangkali puisi-puisi beraliran seperti ini patut diberi dukungan,
karena menggunakan gaya persajakan yang biasa ditemui pada puisi-puisi
lama, seperti mengandalkan bunyi dan berirama, seperti puisi-puisi pada
karya puisi melayu lama yang hampir mirip dengan pantun yang kini sudah hampir
dilupakan dan jarang digunakan penyair-penyair kita, yang lebih mengatakan puisi
mereka sebagai puisi modern.
"sobirin zein" <sobirin_zein@yahoo.com>
___________________________________
mungkin hanya sesuai dengan selera saya, bahwa saya juga pernah menulis puisi
seperti naskah puisi yang saya baca dari beberapa media baik cetak maupun internet
di atas, beberapa tahun lalu. saya akui kini saya vakum, karena sibuk berkhidmat
sebagai jurnalis di sebuah koran harian. susah memang untuk membaca secara kritis
sebuah karya sastra bernama puisi, tapi adakalanya karya sastra ini bisa dipahami
dan dibaca secara dalam jika teknik penulisannya yang memikat dan memiliki tema
yang universal. meski tak jauh beda dengan puisi-puisi karya-karya penyair lokal
maupun nasional sebelum ini, puisi berjudul di atas juga memiliki keunggulan, ada
sedikit yang khas jika diperhatikan secara seksama bahwa diksi yang dipilih hampir
seperti membentuk sebuah gaya penulisan karya sastra melayu lama, yang cenderung seperti syair dalam pantun. bukan ingin menyamaratakan karya-karya sastra terutama puisi-puisi kebanyakan sekarang ini, saya bisa menyimpulkan bahwa karya-karya puisi yang ada, hampir semua bergaya sama, tidak jauh beda. padahal teknik penulisan khas lokal seperti dari sastra lisan warisan para penyair tradisional yang ada, bisa diadopsi sebagai gaya atau teknik untuk menulis puisi sebagai sebuah karya sastra.
"jantan cuek" <jantan_cuek@yahoo.com>
_____________________________________
puisi berjudul 'anak-anak yang terlupa ribuan kali
merenda senja' membuat merinding bulu kuduk saya. ada
semacam kebenaran yang telanjang, diam-diam
menunjukkan wujudnya...
hatiku gerimis membacanya...
bravo...
"erli erlina" <erlykucing@yahoo.com>
_______________________________
Saya mendukung puisi berjudul seperti di atas. Jika saya bandingkan
dengan puisi-puisi lain yang masuk nominasi, puisi ini memiliki
karakter tersendiri. Di samping menggunakan diksi yang khas, ia juga
menggunakan gaya penulisan seperti syair, di mana akhir kalimat di
setiap larik hampir memiliki bunyi yang sama.
Jika ingin menilik dari penggunaan metafor dan kelugasan, puisi ini, dari judulnya
sudah menggunakan itu. Hingga saya baca keseluruhan isinya, juga sama.
"agnes munardi" <agm_ardi@yahoo.co.id>
____________________________________
Komentar
Posting Komentar