Langsung ke konten utama

Pledoi Anak Desa


        ---Kepada Sumaryo, katanya ia seorang intelektual


Benar, tuan, aku dilahirkan di desa. Desa tanah leluhurku yang agung
Meskipun katamu itu sekedar pelosok, padanya
kebanggaanku menugu sosok
Aku pun besar di tanah yang jauh---tak perduli aku kau bilang apa
tapi aku dididik alam sekeras batu, kepribadianku
dan aku beruntung sempat mengenal ilalang, tak hanya tulip
yang di kala berbunga, seputih kapas terbang melayang
saat terik dan angin berlenggang pulang
Di desalah aku mengaji, menyemai pekerti, belajar sembahyang
menikmati nyanyian cengkerik menyecap manis batang tebu
di halaman belakang
Sementara kau mungkin bahkan tak pernah menjamah tanah
padahal aku beruntung sempat menimangnya dalam kepalan
dan menciumnya dengan kebahagiaan memiliki
dan menghirup harum alam saat padi-padi tumbuh hijau
menjadi saksi petani-petani yang senyum saat panen menghimbau
Benar, tuan, aku mengenal desa, tak cuma kehidupan plastik
Di saat kanak aku bermain bebas menjejak bumi dengan kaki telanjang
berkejaran mandi berpongah dada di hujan deras dengan sebaya
Dan bahwa masa kecilku penuh dengan pohon dan bunga-bunga,
dengan burung-burung yang terbang bebas dan hamparan sawah,
ilalang dan ikan-ikan. Dan aku dulu suka memancing
di rawa-rawa terbentang. Dan kalau tidur malam
dibuaikan gemulai senandung pohon kelapa yang berindu dendam
Aku memang datang dari desa---lantas mengapa?
Sebab aku utuh tak kurang manusia sedikit pun daripadamu
bahkan aku beruntung , karena hidup telah mengajarku salih
(bukan sebatas plastik, yang lalu mengorak, berpongah kepada Tuhan)
menjadikan sebabku mempunyai makna dan hakiki
sedang padamu, cukuplah kau 
simpan dengkimu sendiri

Jakarta, 1994-95


Komentar

  1. Pledoi anak desa mirip banget sama kisahku kecil, aku jadi pingin balik kemasa itu.Mas Rego memang hebat tenan.Jo lali karo aku yo mas,cah gombong ibu guru

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007