Langsung ke konten utama

Jejak Jejak Purba


 

lihatlah, ketika perempuan itu memijakkan kakinya yang telanjang di atas kerikil jalanan dalam gigil musim dingin yang masih tersisa, matanya sayu menatapku, serta merta bibirnya terkatup terbuka hendak bertanya namun tertahan, angin. sedang apa engkau? mencari apa engkau? bukan tanyamu melainkan tanyaku yang justru lebih dulu keluar. memberondong. perempuan itu masih terus berjalan, dengan kakinya yang telanjang di atas kerikil jalanan dalam gigil musim dingin yang masih tersisa.

lihatlah, perempuan itu hanya membutuhkan satu senyuman saja untuk menjawab pertanyaanku. kemudian hilang tanyaku perlahan dalam kabut bersama angin, dingin. aku mendadak gagap, ketika menyadari betapa senyum itu masih menyisakan manis. gerangan siapakah yang membawa ingatanku kembali?

lihatlah, perempuan itu berhenti di bawah teduh pohon relung nasibnya, dan sejenak ia melambaikan tangan padaku sembari berbisik. lirih. menjawab pertanyaanku. aku tidak sedang apa, aku hanya sedang menyusuri jalan pulang yang panjang ini. tapi aku yakin aku akan sampai. pun tidak sedang mencari apa, karena pencarianku telah luruh dalam diriku sendiri.

dan aku mendengarnya, walau dari tempatku berdiri.

 

 

kr, april 2006



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...