Pada pertengahan hari yang kubanjiri dengan kebencian,
air susu ibu yang kujadikan tombak dan parang seketika
menolak untuk kupakai menyerang. Padahal tubuhku
sendiri sudah basah kuyup oleh darah segar, dan keringatku
memancar layaknya mata air yang tak beranjak kering.
Lalu aku berangkat menemuimu untuk bertanya tentang
semua kemelut ini, semua kepahitan yang tak kumengerti:
Kenapa justru aku yang menjadi tawanan dalam peperangan ini?
Bukankah setiap gerakku adalah pantulan dari setiap peristiwa masa lalu.
Yang pernah kupetik di ladang ladang buku dan museum museum?
Apa hanya sekedar karena aku terlahir di musim ini, sehingga pun engkau kurasa begitu jauh dan tampak sedemikian dekat dengan mereka?
Ibu, tolonglah aku yang mestinya tak mengeluhkan hal ini kepadamu, sebab setiap pertanyaan itu sebenarnya sudah lama telah kujawab sendiri, yang kemudian justru membuatku terpelanting, dalam kekosongan ini. Dan apalagi aku pun sudah pasti tahu bahwa engkau tak 'kan pernah menjawabnya, tidak akan pernah, meski sekedar seuntai kalimat saja.
Tapi pikirkan jika sedikit saja engkau mengalah, ibu. Kalaupun bukan dukungan, setidaknya aku butuh keyakinan! Dan jika tak lagi kuhisap air susumu, itu karena memang aku sudah terlalu mabuk.
Sekarang, biarkanlah putramu ini menyandarkan kepala barang sejenak. Lalu engkau belailah rambutku, sekali saja. Dan bersama itu ceritakanlah kembali dongeng yang pernah engkau kisahkan pada setiap kali aku hendak tidur di setiap malamnya, di masa kecilku dulu.
Komentar
Posting Komentar