Langsung ke konten utama

Mengunjungi Ibu


Pada pertengahan hari yang kubanjiri dengan kebencian,
air susu ibu yang kujadikan tombak dan parang seketika
menolak untuk kupakai menyerang. Padahal tubuhku
sendiri sudah basah kuyup oleh darah segar, dan keringatku
memancar layaknya mata air yang tak beranjak kering.

Lalu aku berangkat menemuimu untuk bertanya tentang
semua kemelut ini, semua kepahitan yang tak kumengerti:

Kenapa justru aku yang menjadi tawanan dalam peperangan ini?

Bukankah setiap gerakku adalah pantulan dari setiap peristiwa masa lalu.
Yang pernah kupetik di ladang ladang buku dan museum museum?
Apa hanya sekedar karena aku terlahir di musim ini, sehingga pun engkau kurasa begitu jauh dan tampak sedemikian dekat dengan mereka?

Ibu, tolonglah aku yang mestinya tak mengeluhkan hal ini kepadamu, sebab setiap pertanyaan itu sebenarnya sudah lama telah kujawab sendiri, yang kemudian justru membuatku terpelanting, dalam kekosongan ini. Dan apalagi aku pun sudah pasti tahu bahwa engkau tak 'kan pernah menjawabnya, tidak akan pernah, meski sekedar seuntai kalimat saja.

Tapi pikirkan jika sedikit saja engkau mengalah, ibu. Kalaupun bukan dukungan, setidaknya aku butuh keyakinan! Dan jika tak lagi kuhisap air susumu, itu karena memang aku sudah terlalu mabuk.

Sekarang, biarkanlah putramu ini menyandarkan kepala barang sejenak. Lalu engkau belailah rambutku, sekali saja. Dan bersama itu ceritakanlah kembali dongeng yang pernah engkau kisahkan pada setiap kali aku hendak tidur di setiap malamnya, di masa kecilku dulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007