Langsung ke konten utama

Medy Loekito

"Inspirasi terutama dari alam. Bagi saya alam adalah elemen dominan kehidupan, ia begitu luas dan misterius. Kadang menyakiti, seringkali pula menyediakan bahagia. Sifatnya yang tidak terduga membuat kita menjadi kreatif dan merenung lebih dalam dan lebih dalam lagi, tidak ada habisnya. Seperti di salah satu puisi, saya menulis “pokok flamboyan melontar angin ke sudut langit”, padahal mungkin dan biasanya anginlah yang melontarkan dahan-dahan flamboyan. Menarik bukan sang Alam itu?"

Ini adalah jawaban dari sang penyair mengenai sumber inspirasi untuk menulis. Dan dalam satu paragraf jawaban, kemampuan alami Medy Loekito untuk meng-capture dan menghidupkannya kembali menjadi terlihat .. meskipun dalam barisan kata-kata pendek yang ia tuliskan.

Diluar dari prestasi-prestasinya, perempuan dengan nama Medijanti Loekito (Medy Loekito) lahir di Surabaya, Jawa Timur, 21 Juli 1962 ini sepertinya tidak terlihat berhenti untuk menulis. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai sejak 1978, di Horison, Seloka, Romansa, Gamma, Mitra Budaya, Sastra, Pelangi, Bahana, Kompas, Indonesia Times, dll. Ikut dalam sejumlah antologi puisi bersama di dalam dan luar negeri. Menulis kata pengantar antara lain untuk buku Dua Tengkorak Kepala karya Motinggo Busye. Penelitian bersama tentang Pemetaan Komunitas Sastra di Jakarta, Bogor, Tengerang, dan Bekasi . Tercatat dalam International Who's Who in Poetry and Poets Encyclopedia, The International Biographical Center, Cambridge, Inggris (1999). Tergabung dalam Poet 2000 Sculpted Library, Dublin, Irlandia (2000).

Puisi-puisinya begitu minimalis, terdengar merdu dan liris.

Sendiri di Sudut Petang

ketika sepi datang
kutanya hati
siapa membunuh angin
dan memenjarakan derunya


( Mei, 1995 )

Saat ini Medy bermukim di Jakarta bersama suami dan anak-anak selain disibukkan dengan pekerjaan sebagai Executive secretary di Shimizu Corporation.

Ia pernah menjadi wakil Republik Indonesia untuk Conference of Asian Foundation & Organizations, bidangkebudayaan (1999, 2000, 2001).Wakil Republik Indonesia untuk International Writing Program, Iowa City, AS (2001). Karyanya antara lain In Solitude, Penerbit Angkasa, Bandung (1993) dan Jakarta Senja Hari, Penerbit Angkasa, Bandung (1998). Penghargaan yang pernah diterima antara lain Semifinalis North American Open Poetry Contest, AS (2000) - Semifinalis Montel Williams Open Poetry Contest, AS (2000). Kegiatan lainnya, - Research Board of Advisors The American Biographical Institute, AS (1999) , Dewan Pendiri Komunitas Sastra Indonesia; - Dewan Pendiri Organisasi Pembina Seni , Dewan Pendiri Yayasan Multimedia Sastra.

Khusus menyambut hari Kartini, kru Puitika.Net menampilkan sosok perempuan yang tidak asing lagi dalam dunia kepenyairan di Indonesia. Penyair yang baru saja bersama keenam penyair perempuan yaitu Toeti Heraty, Poppy Hutagalung, Isma Sawitri, Cok Sawitri, Dorothea Rosa Herliany, Rieke Diah Pitaloka yang karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan diterbitkan oleh CCF dalam sebuah kumpulan puisi dua bahasa. Antologi ini akan diluncurkan pada tanggal 10 Maret 2006.

Berikut wawancara kru Puitika.net dengan Medy Loekito.

Sazano: Banyak penulis memiliki latar belakang yang unik dan terkadang "mengerikan", bagaimana dengan anda? Bagaimana peran orang tua dalam hidup anda dan jika itu mempengaruhi tulisan anda.

Medy Loekito : Wah, keluarga saya sangat mengerikan. Mereka berkomunikasi dalam bahasa Belanda, Inggris, Indonesia dan Jawa. Jadi ketika masih kecil, banyak kawan-kawan yang tak mengerti apa yang saya katakan. Mengerikan bukan? Tapi saya tidak pernah mencoba menjelaskan, karena saya sendiri tak tahu, mana yang benar mana yang salah. Mungkin itu sebabnya puisi saya amburadul ya? Hehe.

S:Ada apa di tahun 1978 yang membuat anda mengambil pena dan mulai menulis puisi?

M: Tahun 1978 kayaknya dunia masih waras-waras aja. Semuanya bermula disebabkan oleh seorang sahabat pena bernama Kardy Syaid (yang saya anggap sahabat dan guru saya selalu). Beliaulah yang penyair dan penggiat seni, di Aceh maupun di Sumatra Barat. Terpesona oleh kegiatannya itulah lalu saya menulis puisi, yang ternyata lolos masuk Koran. Setelah puisi lolos, lalu saya menulis cerpen, hanya untuk uji coba saja, ternyata dimuat juga di Koran. Setelah tulisan saya bisa lolos Koran dan majalah, ya udah, saya tidak begitu semangat lagi menulis, sebab ketika itu memang sifatnya hanya uji coba kemampuan sendiri.

S:Ditahun yang sama puisi anda dimuat di media cetak. Bagaimana tulisan anda berubah dibandingkan anda berumur 13 atau 14 tahun pada waktu itu?

M : Perbedaan yang utama jelas kematangan dalam memilih kata. Dan yang jelas sekarang semakin irit.

S:Literatur-literatur apa yang menjadi favorit anda

Sejujurnya saya jarang sekali membaca literature sastra, kecuali pada saat butuh referensi untuk menulis. Saya lebih suka membaca buku sejarah, kebudayaan dan buku tentang flora fauna.

S:Puisi-puisi anda pendek-pendek, kesulitan untuk membuat puisi panjang atau memang strategi menulis anda?

M :Ya, bagi saya menulis panjang itu sulit sekali. Biasanya otomatis kalau sudah 4 baris, lalu mandeg tak ketemu lagi kata-kata. Saya seringkali terpesona pada mereka yang bisa menulis panjang sekali atau berbicara panjang sekali. Mungkin karena bakat saya ya cuma segitu-gitunya ya?

S:Jadi bagi mereka yang belum pernah mendengarkan anda membaca puisi , bagaimana anda menjelaskan puisi anda ? Melalui pembacaan puisi atau sekedar teks?

M: Puisi saya memang bukan jenis yang menarik untuk dibacakan. Apalagi saya juga sama sekali tidak menarik ketika membacakan puisi. Rasanya lebih enak jika para peminat membaca sendiri, lalu merenungkan sendiri, dan mengartikan sendiri.

S:Apakah anda menulis untuk alasan tertentu ... Apakah anda merasakan memiliki tujuan tertentu sebagai seorang penulis puisi?

M: Dulu pada langkah-langkah pertama, ya, saya menulis untuk uji coba kemampuan. Setelah terbukti bisa, selanjutnya tak ada tujuan atau alasan tertentu lagi.

S:Bagaimana peran komunitas dan seberapa penting itu buat anda?

M: Bagi saya komunitas sangat penting dan perlu, maksudnya komunitas sastra kan ya? Pada jenis masyarakat Indonesia yang sangat beragam budayanya serta sangat banyak kuantitasnya, komunitas-komunitas kecil ini perlu. Komunitas berperan sabagai tempat pendidikan atau peningkatan kemampuan berkesenian, juga sebagai lahan ekspresi, dan juga bisa menjadi jalan menuju komunitas yang lebih besar lagi. Ini bukan berarti bahwa komunitas kecil itu kurang berarti, tetapi saya katakan di sini “bisa menjadi jalan”, tetapi tidak berarti “harus” menuju komunitas atau dunia yang lebih besar. Jika keterlibatan di dalam komunitas kecil itu sudah membawa bahagia, ya tidak perlu mengejar dunia yang lebih besar.

S:Bagaimana ceritanya anda pertama kali terlibat dengan rekan-rekan di YMS dan cybersastra.net?

Ini semua karena seorang penyair bernama Muhary Wahyu Nurba dari Makassar. Ketika itu beliau merasa susah karena tak bisa berangkat ke USA untuk menerima hadiah sastra. Atas kesusahan Muhary ini, beberapa orang yang biasa berinteraksi melalui cyber lalu berpikir bagaimana kita bisa membantu masalah-masalah semacam ini untuk di masa yang akan datang. Lalu sampailah kita pada ide membuat suatu organisasi nirlaba yang bertujuan membantu pengembangan sastra Indonesia.

S:Apa benar terjadi konflik dalam tubuh YMS yang mengakibatkan situs cybersastra.net mandeg?

Tentang masalah ini saya kurang tahu, karena sudah satu tahun ini saya tidak bergiat di YMS dan cybersastra. Mungkin bisa ditanyakan langsung kepada para pendiri dan pengurusnya ya?

S:Apakah perkawinan merubah anda sebagai seorang penulis? Dan anak-anak?

M: Wah, perkawinan dan anak-anak kan tak perlu merubah sastra. Saya tetap saja menulis semau saya. Masalahnya malah terjadi setelah anak beranjak dewasa, sebab sekarang anak saya sudah bisa bilang “tulisan Mama jelek!” Celaka ya?!

S:Apakah anda pernah membaca karya seseorang belakangan ini yang tulisannya membuat anda kembali berfikir tentang apa yang anda tulis? Apakah anda pernah punya keraguan pada puisi atau dimana anda akan mengakhirinya?

M: Akhir-akhir ini saya sering diminta membahas tulisan karya anak-anak. Dan saya sering berpikir “waduh, tulisan saya kok jelek amat ya, padahal udah hampir kadaluwarsa begini, dibandingkan tulisan anak-anak itu kok rasanya tidak sebanding”. Biasanya saya lalu ambil nafas panjang, lalu cengengesan sendiri, lalu menulis lagi, tidak pernah berpikir untuk mengakhirinya, karena ya itu tadi, wong belum apa-apa kok udah diakhiri, justru seharusnya terus berusaha memberi manfaat bagi semua orang.

S:Apakah anda merasa karir kepenyairan anda terbantu dengan status anda sebagai perempuan, istri dan sekaligus ibu? Cuma keberuntungan saja? Atau anda perlu membangunnya bertahun-tahun untuk bisa seperti sekarang?

M: Nah, ini bagian paling seru. Begini, ketika puisi-puisi saya dulu muncul di media massa, baik pembaca maupun redaktur berpikir bahwa “Medy Loekito” itu seorang pria. Hal ini berlaku bertahun-tahun hingga sekitar tahun 1996 ketika saya sedikit muncul secara fisik di publik, barulah sebagian dari masyarakat sastra tahu bahwa saya bukan pria. Bahkan sampai sekarang pun, masih banyak sekali yang mengira saya ini pria. Dan saya sendiri tidak pernah mencoba meralat sebab saya suka bersembunyi. Bagi saya ini seperti sebuah permainan. Sampai ketika mereka jumpa langsung, barulah mereka terkejut. Dan ekspresi terkejut ini salah satu bagian yang saya sukai, rasanya lucu dan seru, hehe.

Jadi ya saya kurang tahu apakah status “wanita” itu berpengaruh, berguna, atau tidak berarti dalam dunia sastra karena saya hampir tidak pernah merasakannya.

S:Bagaimana menurut anda penyair perempuan di Indonesia sekarang? Apakah jumlah mereka cukup representatif? Jika tidak usaha-usaha apa sebaiknya dilakukan untuk membangkitkan minat perempuan menulis puisi?

M: Jumlah penyair wanita secara kuantitas jelas tidak sebanding dengan jumlah penyair pria maupun dengan jumlah wanita di seluruh Indonesia. Tetapi secara kualitas masih bisa bersaing.

Untuk membangkitkan minat wanita menulis puisi rasanya sudah banyak yang diusahakan kawan-kawan, seperti Badai Siregar yang mengumpulkan dan menerbitkan puisi-puisi para penyair wanita, kemudian Ibu Tuti Heraty juga melakukan hal yang sama, dan saya juga pernah melakukan hal yang sama. Mungkin akan baik apabila dimulai dari pendidikan sastra di sekolah-sekolah sejak dini.

S:Anda memiliki rentang masa kepenyairan yang cukup panjang (1978-skrg) bagaimana perlakuan setiap dekade, 80-an, 90-an dan terakhir 2000-an terhadap penyair perempuan?

M: Nah, ini seperti yang tadi saya katakan, saya kurang tahu bagaimana fakta nyatanya karena saya sendiri kurang merasakan. Tetapi rasanya dari penglihatan sepintas, dalam dunia kepenyairan nampaknya tidak ada perbedaan gender. Atau mungkin saya salah, tak tahu juga.

S:Anda pernah beberapa kali mewakili Indonesia ke luar negeri. Negara mana yang berkesan bagi anda sebagai penulis perempuan?

Mungkin sebagai “penulis” ya, bukan “penulis perempuan”? Pertama saya terkesan dengan Indonesia, yang begitu kaya dengan budaya, yang sesungguhnya bisa menjadi sangat lestari dan menawan apabila penangannya benar, termasuk di dalam hal sastra dengan warna tradisional.

Kedua saya terkesan dengan kota kecil Bozeman di Montana. Ketika saya “ditugaskan” berkunjung ke sana, salah satunya adalah sebuah Sekolah Dasar. Bangunannya amat sederhana. Pertama tiba di gerbang saya terkesan dengan patung, yang jelas kelihatan sebagai karya anak-anak, dan patung ini dipasang di depan sekolah dengan bangga. Kemudian di dalam, saya disambut dengan acara pentas puisi oleh anak-anak yang bertajuk “Poetry is fun for everyone”, dimana murid-murid bekerja sama dengan para Guru dalam pengadaannya. Mereka tampil dengan bangga dan bahagia, dan tetap bernuansa kanak-kanak.

Saya pikir, jika di Indonesia, anak-anak Sekolah Dasar diberi kesempatan yang sama, mungkin akan sangat indah, baik bagi anak-anak itu pada saat itu, maupun bagi sastra Indonesia di masa yang akan dating.

S:Siapa penyair perempuan favorit anda?

M: Dorothea Rosa Herliany. Bagi saya, puisinya sangat menarik.

S:Apa rencana anda selanjutnya?

M:Wah, saya jarang punya rencana. Saya biasanya hanya membantu orang-orang/teman-teman yang punya rencana. Jadi saya ikut saja.

S:Membaca puisi paling berkesan?

M: Saya jarang sekali membaca puisi di depan publik, karena saya pikir saya bukanlah tontonan yang menarik, kasihan nanti para penonton itu. Tetapi ada satu saat di TIM, ketika saya membaca puisi. Karena puisi saya pendek, maka ketika para wartawan siap membidikkan kamera, tepat saat itu saya mundur dari pentas. Rasanya geli sekali melihat ekspresi bingung para wartawan dan juru foto saat itu. Setelah itu banyak yang protes, tetapi saya malah merasa gembira karena lucu.

S:Terakhir, bisa anda jelaskan dengan kata-kata anda sendiri apa itu puisi?

M: Ketika berbicara di Iowa, saya katakan bahwa penyair adalah penterjemah kehidupan. Jadi puisi adalah terjemahan dari kehidupan. Seperti salah satu puisi saya:

Puisi, Engkaukah

engkaukah sepi
wujud maya kata

engkaukah kata
wujud nyata sepi


( mei 2002 )

Komentar

  1. Saya kagum dengan mbak Medy Loekito. Sajak-sajak pendeknya tajam dan tegas menikam lembah kesepian, memberikan penyadaran. Karena saya juga suka sajak pendek. Kepada banyak penyair kadang saya ingin menanyakan, bagaimana proses kreatif mereka, hingga mampu menemukan rangkai-kata baru, yang rangkaian kata tadi bisa melesat melampaui masa, jauh meninggalkan usia fisik penyairnya. Sungguh, mungkin sebagai analogi, bagaimana cara prihatin/puasanya seorang empu sehingga keris yang dibuatnya menjadi begitu ampuh. Penyair pun demikian, sajak2 yang tercipta begitu 'sakti'. Belum saya temukan jawabnya...... Semoga mbak Medy tetap dikaruniai kekuatan untuk terus menulis dan berkarya!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...