Langsung ke konten utama

Masih



adakah Engkau masih milikku?
adakah Engkau masih kasihku?
mengapa masih perih berdenyut?
mengapa masih duka bertaut?
mengapa nyeri cucuki hati?
diri  hampar  sejuta  duri
dada  lesak sejuta tanya
Kau  beri subuh untuk pagiku  Kau beri  pagi untuk siangku Kau beri siang untuk soreku Kau beri sore untuk petangku Kau beri petang untuk malamku Kau beri malam untuk tidurku dalam tidur Kau beri mimpi dalam mimpi Kau beri senyum dalam senyum aku terbangun saat bangun kuingat kerja menuju kerja aku berjalan saat jalan aku berpikir dalam pikir aku merenung dalam renung kuingat Engkau dalam ingat aku tertawa dalam tawa Kau sapa sedih dalam sedih aku bernafas dalam nafas Kau eja perih dalam perih kusebut nama dalam nama  Kau  panggil  aku  selewat  panggil aku bersujud dalam sujud aku menangis dalam tangis aku meraba
gemuruh debu di dalam diri
kuulang debu di dalam ngilu
kuulang ngilu di dalam bisu
kuulang bisu serupa ritual
kukaji diri terus kukaji
tak kunjung temu siapa diri
hingga sesak di dalam dada
oleh tanya tiada berujung
di mana aku dalam hati-Mu?
adakah aku masih milik-Mu?


Maret 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...