Gadis belia menghentakkan kakinya ketanah dan bersungut-sungut kelelahan karena berjalan dari sekolah kerumahnya yang jauh. Ditambah lagi dengan terik mentari yang selalu membayangi dan menyengat, setelah revolusi industri dan muncul banyak pabrik-pabrik, cuaca memang terus menerus semakin panas, setidaknya begitulah yang terjadi yang tertera di jurnal-jurnal ilmiah yang sering di bacanya di sela-sela perpustakaan ketika jam istirahat, dimana teman-teman sebaya lebih sering menikmati jajan di kantin atau berpacaran di bawah pohon besar yang tumbuh di tengah pekarangan sekolah.
Angkot-angkot yang berseliweran di sisi kiri dan sisi kanan yang biasa di naiki anak anak sekolah. Tapi gadis itu melangkahkan kakinya untuk pergi ke sekolah. Kadang teman-teman mengajaknya menaiki kendaraan yang berdengus menggantikan kuda-kuda, dia lebih setuju bila mobil digantikan dengan kuda-kuda saja, atau onta mungkin daripada setiap hari berdesakan, menghisap knalpot dari kerumunan kemacetan.
Terus melangkahkan kakinya ke sekolah yang merupakan tempat dimana ilmu dibagikan, meski tidak cuma-cuma dan mahal, tidak sebagaimana yang dicantumkan dalam undang-undang bahwa pendidikan gratis dan pemerintah yang menanggungnya. Tidak, tidak, dan tidak seperti itu, padahal biaya lain seperti buku dan sebagainya menambahkan lagi beban untuk bersekolah, patut disayangkan, seperti decakan kekecewaan yang pernah digerutukan oleh gadis itu.
Bandar Lampung 2005
Komentar
Posting Komentar