Langsung ke konten utama

gadis belia

Gadis Belia

 

 

Gadis belia menghentakkan kakinya ketanah dan bersungut-sungut kelelahan karena berjalan dari sekolah kerumahnya yang jauh. Ditambah lagi dengan terik mentari yang selalu membayangi dan menyengat, setelah revolusi industri dan muncul banyak pabrik-pabrik, cuaca memang terus menerus semakin panas, setidaknya begitulah yang terjadi yang tertera di jurnal-jurnal ilmiah yang sering di bacanya di sela-sela perpustakaan ketika jam istirahat, dimana teman-teman sebaya lebih sering menikmati jajan di kantin atau berpacaran di bawah pohon besar yang tumbuh di tengah pekarangan sekolah.

 

Angkot-angkot yang berseliweran di sisi kiri dan sisi kanan yang biasa di naiki anak anak sekolah. Tapi gadis itu melangkahkan kakinya untuk pergi ke sekolah. Kadang teman-teman mengajaknya menaiki kendaraan yang berdengus menggantikan kuda-kuda, dia lebih setuju bila mobil digantikan dengan kuda-kuda saja, atau onta mungkin daripada setiap hari berdesakan, menghisap knalpot dari kerumunan kemacetan.

 

Terus melangkahkan kakinya ke sekolah yang  merupakan tempat dimana ilmu dibagikan, meski tidak cuma-cuma dan mahal, tidak sebagaimana yang dicantumkan dalam undang-undang bahwa pendidikan gratis dan pemerintah yang menanggungnya. Tidak, tidak, dan tidak seperti itu, padahal biaya lain seperti buku dan sebagainya menambahkan lagi beban untuk bersekolah, patut disayangkan, seperti decakan kekecewaan yang pernah digerutukan oleh gadis itu.

 

 

Bandar Lampung 2005

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007