Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”
dua juta rakyat Irak yang mati kini menjelma sepatu yang ingin mencium mukamu, Bush kau menolak ciuman itu kau memalingkan wajahmu, Bush karena yang ingin menciummu hanyalah sepatu hanya sepatu! apa yang berharga pada wajahmu, Bush? hingga sepatu demikian bernafsu untuk menciummu dan mungkin menidurkanmu selama-lamanya apa yang berharga dari kekuasaanmu, Bush? kalau pada akhirnya kado yang terbaik untukmu hanyalah sepatu yang akan melekat di wajahmu di wajahmu! dua juta rakyat Irak yang mati oleh pasukan yang kau kerahkan ke ladang minyak itu kini menjelma sepatu yang meruntuhkan harga dirimu sebagai seorang laki-laki. Citayam, 2009 Asep Sambodja