Langsung ke konten utama

Anjungan Riau TMII gelar lomba baca puisi: Membangun karakter lewat puisi

Salah satu peserta lomba baca puisi di UPT Anjungan Riau TMII sedang menunjukkan kebolehannya.

LENSAINDONESIA.COM: Sebagai upaya membentuk karakter masyarakat madani, UPT Anjungan Riau Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur menggelar lomba pembacaan puisi, Sabtu (19/10/13). Sedikitnya 30 peserta dari wilayah Jabodetabek turut serta meramaikan gelaran lomba.

Kepala Bidang Kelembagaan Provinsi Riau, Agus Priyanto SE mewakili Kepala Badan Penghubung Provinsi Riau, Drs Tarmizi Natar Nasution kepada LICOM menuturkan, pagelaran lomba baca puisi tersebut dimaksudkan untuk mencari bibit sastrawan yang unggul.

“Saya sungguh berharap kiranya lomba atau festival baca pusi dapat menghasilkan pembaca puisi yang terus berkembang dan menemukan calon-calon pujangga seperti almarhum WS Rendra,” ujarnya.

Agus mengatakan, pembangunan karakter masyarakat melalui sastra, khususnya puisi menjadi pondasi penting untuk masa depan Riau. Melalui kekuatan karakterlah, katanya, pembangunan fisik bisa dilakukan secara baik.

“Kita optimis dengan melakukan berbagai upaya untuk dapat memacu pembangunan di segala bidang ini agar terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan mandiri ataupun masyakat madani. Sehingga Provinsi Riau yang kaya akan potensi sumber daya alam maupun memiliki letak geografis yang strategis mampu menjadi lokomotif dalam memajukan pembangunan di masa datang,” bebernya.

Dia menambahkan, saat ini Riau sedang menggali kekayaan seni budaya sastra. Cukup banyak sastrawan maupun pujangga Indonesia yang berasal dari Riau, salah satunya Sutardji Calzoum Bahri yang mendapat julukan presiden penyair Indonesia dilahirkan di Rengat Indragiri Hulu.

“Bagi para peserta semuanya mengharapkan lomba baca puisi ini kita gelorakan seni sastra agar menghasilkan para pujangga-pujangga baru sekelas Sutardji Calzum Bachri,” pungkasnya.

sumber: lensaindonesia.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...