Langsung ke konten utama

Dalam Amuk Musim (1)

dilema gerimis

hanyalah dilema yang berlipat-lipat di setiap tetes gerimis pagi ini
ketika semua telah lewat semalam suntuk
perdebatan tak kunjung klimaks
orang-orang menjadikan diri dan diri dalam kelicikan atau keangkuhan
sebagaimana tanah-tanah yang tergusur,mimpi manusia yang terbakar dalam ratap

:berjalan pada kepedihan-kepedihan
sebagai manusia kecil yang meraba-raba nasib atau kematian

muara kalaban,28 3 09

sajak hujan

akulah yang termenung di balik serenade hujan
memeram gelisah,mengapa hujan tak kunjung turun seutuhnya
saat itu aku teringat kanak-kanak lampau
menyaksikan bocah-bocah stasiun yang asyik bermain bola dengan saling rebut menendangnya.seperti menendang mimpi dan juga menghibur seorang tua di remuk beranda

:aku pun hanyut dalam getir yang silam
berlumpur di sela-sela ilalang musim hujan

muara kalaban,23 3 09


stasiun senja

inilah stasiun senja dari kebiasaan-kebiasaan masa lampau
stasiun tempat gerbong-gerbong berlalu membawa kisah manusia
sebagaimana terpampang jelas
senja selalu menulis fragmen-fragmen kehidupan

di tepi rel ini adalah tempat bocah-bocah berlarian,sekelompok tua yang bercakap-cakap tentang hari atau orang-orang yang menggiring anjing peliharaan menuju utara atau selatan

:fragmen senja yang selalu mengapung pada denyut stasiun tua

muara kalaban,29 3 09

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...