Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2008

PELANGI DIRIMU

Aku tahu merah bibir itu sekedar gincu bukan merah untukku. Aku mengerti gumpal dadamu bukan detakku hanya gita yang menggetar senar nadiku Pagi masih renta saat ku datang membuang sauh didepan peristirahatanmu Kau dermaga dengan kapal perahu singgah tantang pelaut lerai maut dari badai Di dirimulah pelangi mulai melengkung dengan ujung entah siapa sanggup titi pucuknya yang indah.

PERNAH MATI

Aku adalah lelaki yang pernah mati Karena kau tinggal kan pergi Dan aku mati Aku adalah pusara, sesunyi angkasa Mataku masih membuka Entah dimana Dan kini, aku tak lagi bermimpi Mata hatiku bernyanyi Engkau ada lagi Pekalongan, 16 Juli 2008

PECUNDANG

Aku adalah pengemis yang engkau hardik Hingga meluruh keberanianku Dan akhirnya kubungkus rapat cintaku dalam tas plastik Untuk kusembunyikan dalam pelukan pecundangku Pekalongan, 10 Febuari 2008

SODRUN

Sedang kusulam baju robekku dengan jarum-jarum yang patah, manakala melintas sayap-sayap yang mengikat dari potret-potret purba, bahkan terjatuh dan meretak otak. Aku tidak sedang lesu. Apalagi mulutku masih bisa menyebutmu. Dan engkau termangu dibingkaimu, sambil pelan-pelan dibawa terbang, kau ucapkan satu kata “sodrun”. Pekalongan, 16 November 2007

JENDELA

sengaja rumah ini kuberi jendela hanya supaya bila hujan mendera kau bisa menatap urai awan meremah manakala kau tautkan tangan agar dingin tak menyusup tapi kau menolak kurapatkan jendela dan menarik tirai maka aku mesti menahan angin masa silam untuk tak datang membawa kehilangan karena cerita lama bisa menjelma apa saja hanya supaya kau bisa menyesali maka kubangun dari cumbuan curam ngarai kumandang azan tanpa matahari sebab hujan tak akan henti maka sengaja kulengkapi lisutnya rumah ini dengan jendela yang tak pernah menghadirkan engkau (RuangSempit, 2008)