Aku Hampiri Hujan
aku hampiri hujan yang termangu di depan helai cuaca, lalu aku menarik lengan sejarahku. ada yang tertahan oleh abu-abu, pun pertemuan kau-aku.
lalu yang kudekap hanya batu.
Purbalingga, Maret 2006
Narasi Ciuman
di ciuman pertama sehelai daun jatuh dari pengangannya, lalu kau pungut almanak, kau hitung seberapa rawan pertemuan awan dengan hujan, sehingga daun-daun basah bersalah.
di ciuman kedua pohon-pohon rebah ke pangkuanmu, lalu aku berdiri menelunjuk hari yang rawan pada musim tak beriklim.
di ciuman ketiga kau-aku rebah menjadi sejarah yang dicium lalat.
Purbalingga, Maret 2006
Hujan adalah kau
hujan adalah kau, yang menghilir di serat-serat nafas, menggenang di ingatan yang hijau.
hujan adalah kau yang menjadi kekasih bumi, pelepas haus sungai-sungai di batin.
hujan adalah ciuman yang mendarat di pelipis waktu.
Purbalingga, Maret 2006
Ada Mendung di Wajah Hujan
ada mendung di wajah hujan yang menulisi bumi dengan tirus-tirusnya, kemudian kuurai sungai, kugelar laut di jantungku. kulayarkan waktu, mendaki diri sendiri.
ada mendung di wajah hujan yang jambon, lantaran musim berlompatan dari rahim waktu.
Purbalingga, Maret 2006
Kaulah Sungai
akulah air, dan kaulah sungai yang telah memperdayaku dengan lekuk tubuhmu, lalu kau ciptakan muara sehingga aku betah merenangimu.
sehingga aku terlambat sampai laut.
Purbalingga, Maret 2006
Metamorfosa
Sajak Iqlima pada Hawa
mula-mula aku merasa kau dekap kepalaku di dada, lalu kau angkat wajahku, saat kubuka mata kau lempar sauh dari matamu ke dalam danau di batinku.
lalu kututup mataku, serupa kunang-kunang kau kagumi kepalaku.
Purbalingga, Maret 2006
Bukan aku yang memesan masalalu
bukan aku yang memesan masalalu, mungkin karena kau datang terlambat, sehingga mesin fotocopy sibuk menyusun penyesalannya sendiri. sedang jam dinding masih menyimpan luka pada detak detiknya.
sementara percakapan kalender dengan hari-hari kian batu, aku sendiri memilih diam sebagai pembicaraan. buku-buku agenda yang entah di mana terasa mengirim cuaca di tiap selasa, yang membuatku basah bahagia.
bukan aku yang memesan masalalu.
Purbalingga, 2005-2006
Sms Pagi Hari
terimakasih atas pulsa yang tak pernah habis di jantung ini, pun baterai yang tak pernah low, sebab matahari dan udara menjadi charger paruku.
tetapi maaf, jika aku sering lupa untuk selalu menelponmu, sebab lima sms rindu itupun, kurisau tak terbaca.
Rumahsunyi, 2005-2006
Selalu Saja Hujan Yang Angkat Bicara
Selalu saja hujan yang angkat bicara, padahal aku baru saja belajar menyusun kalimat. Tentang harga diri itu, agaknya hujan lebih paham dengan mengirim sampah ke muara. Tentang hak asasi manusia itu, hujan begitu fasih melantunkan airmata.
Lalu tentang airmata itu, hujan telah menterjemahkan banjir pada alinea pertama UUD 1945.
Selalu saja hujan yang angkat bicara.
Purbalingga, 2005-2006
Kamandaka
Tak harus jadi lutung untuk memanjat pohon sejarah memetik perempuan manggis. Tetapi tentang sabung jago itu, pun aku telah bertarung melawan gelombang. Dan aku karam.
Tetapi perempuan manggis itu telah menulis sendiri sejarahnya, memilih sendiri pemetiknya.
Dan takdir merajamku, sebab dongeng kamandaka telah lama membatu.
Purbalingga-Jatijajar, 2005-2006
aku hampiri hujan yang termangu di depan helai cuaca, lalu aku menarik lengan sejarahku. ada yang tertahan oleh abu-abu, pun pertemuan kau-aku.
lalu yang kudekap hanya batu.
Purbalingga, Maret 2006
Narasi Ciuman
di ciuman pertama sehelai daun jatuh dari pengangannya, lalu kau pungut almanak, kau hitung seberapa rawan pertemuan awan dengan hujan, sehingga daun-daun basah bersalah.
di ciuman kedua pohon-pohon rebah ke pangkuanmu, lalu aku berdiri menelunjuk hari yang rawan pada musim tak beriklim.
di ciuman ketiga kau-aku rebah menjadi sejarah yang dicium lalat.
Purbalingga, Maret 2006
Hujan adalah kau
hujan adalah kau, yang menghilir di serat-serat nafas, menggenang di ingatan yang hijau.
hujan adalah kau yang menjadi kekasih bumi, pelepas haus sungai-sungai di batin.
hujan adalah ciuman yang mendarat di pelipis waktu.
Purbalingga, Maret 2006
Ada Mendung di Wajah Hujan
ada mendung di wajah hujan yang menulisi bumi dengan tirus-tirusnya, kemudian kuurai sungai, kugelar laut di jantungku. kulayarkan waktu, mendaki diri sendiri.
ada mendung di wajah hujan yang jambon, lantaran musim berlompatan dari rahim waktu.
Purbalingga, Maret 2006
Kaulah Sungai
akulah air, dan kaulah sungai yang telah memperdayaku dengan lekuk tubuhmu, lalu kau ciptakan muara sehingga aku betah merenangimu.
sehingga aku terlambat sampai laut.
Purbalingga, Maret 2006
Metamorfosa
Sajak Iqlima pada Hawa
mula-mula aku merasa kau dekap kepalaku di dada, lalu kau angkat wajahku, saat kubuka mata kau lempar sauh dari matamu ke dalam danau di batinku.
lalu kututup mataku, serupa kunang-kunang kau kagumi kepalaku.
Purbalingga, Maret 2006
Bukan aku yang memesan masalalu
bukan aku yang memesan masalalu, mungkin karena kau datang terlambat, sehingga mesin fotocopy sibuk menyusun penyesalannya sendiri. sedang jam dinding masih menyimpan luka pada detak detiknya.
sementara percakapan kalender dengan hari-hari kian batu, aku sendiri memilih diam sebagai pembicaraan. buku-buku agenda yang entah di mana terasa mengirim cuaca di tiap selasa, yang membuatku basah bahagia.
bukan aku yang memesan masalalu.
Purbalingga, 2005-2006
Sms Pagi Hari
terimakasih atas pulsa yang tak pernah habis di jantung ini, pun baterai yang tak pernah low, sebab matahari dan udara menjadi charger paruku.
tetapi maaf, jika aku sering lupa untuk selalu menelponmu, sebab lima sms rindu itupun, kurisau tak terbaca.
Rumahsunyi, 2005-2006
Selalu Saja Hujan Yang Angkat Bicara
Selalu saja hujan yang angkat bicara, padahal aku baru saja belajar menyusun kalimat. Tentang harga diri itu, agaknya hujan lebih paham dengan mengirim sampah ke muara. Tentang hak asasi manusia itu, hujan begitu fasih melantunkan airmata.
Lalu tentang airmata itu, hujan telah menterjemahkan banjir pada alinea pertama UUD 1945.
Selalu saja hujan yang angkat bicara.
Purbalingga, 2005-2006
Kamandaka
Tak harus jadi lutung untuk memanjat pohon sejarah memetik perempuan manggis. Tetapi tentang sabung jago itu, pun aku telah bertarung melawan gelombang. Dan aku karam.
Tetapi perempuan manggis itu telah menulis sendiri sejarahnya, memilih sendiri pemetiknya.
Dan takdir merajamku, sebab dongeng kamandaka telah lama membatu.
Purbalingga-Jatijajar, 2005-2006
Komentar
Posting Komentar