Langsung ke konten utama

Sebatang Akasia Di Sebuah Taman

Kenapa kaubiarkan sebatang pohon itu, menantang langit sendirian? Angin-angin gemar meruntuhkan hijau daun dari tangkai, hingga setiap hari, tubuhnya harus merasakan kepergian dan ditinggalkan.

Tetapi, setiap ada yang gugur dari dahan-dahannya yang tak seberapa, ada saja yang menunas kemudian tumbuh. Daun-daun muda bersemi, berdesiran dan berayun-ayun. Apabila langit sedang berbaik budi, maka ia akan menurunkan hujan. Butir-butir air akan menetas di tubuh daun itu, menguncup, jatuh ke tanah.

Setelah usai, langit akan cerah, maka akan kaulihat dari kejauhan, betapa sisa hujan di daun-daun itu berkilauan, seperti intan pada mahkota raja. Seperti samudera dengan bayang-bayang matahari senja.

Ada baiknya kautanam kembang hias di sekitar pohon itu. Agar ada yang menemaninya setiap kali kesakitan melepas demaun. Rapatkan pula sebuah bangku panjang, agar ada yang singgah; mungkin kawanan angsa atau gereja, berbagi perih dan rayuan, sambil menyimak cuaca yang berubah-ubah.

(Desember, 2008)

Komentar

  1. Hmmmm....... kalau saya perhatikan, karya ini mirip seperti Kahlil Gibran..... anda terinspirasi dari karya-karya Kahlil Gibran, mungkin?

    However, it's so nice...... ^_^

    BalasHapus
  2. cuaca memang berubah-ubah, ya..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...