Langsung ke konten utama

Untuk Budhe

Hari ini aku melihat -
meski sebelumnya tidak merupakan kesengajaan – mata itu:
mata yang letih akan hidup dan kehidupan dan semua beban didalamnya. Dan hanyalah beban: beban yang sungguh yang nampak disana.
Memantul pada lensa mataku. Membekas menggoreskan
bermacam tandatanya yang mencekik leherku.

Hari ini aku melihat –
dengan sengaja yang kusengaja. Mata itu:
ketika dengan gemas dia remas pipiku. Aku telah merasainya,
aku menikmatinya: mata itu.
“Dan semua beban yang terendap di mata, dan membeku di mata
telah menimpaku kini.”

Salah satu tandatanya yang mencekik leherku bertanya:
kenapa. Aku tahu telah lama dia mengetuk di depan pintu sorga –
katanya. Sorga berada di dalam guagua gelap: beribu kalong
yang tidak perlu cahaya bergantung di langitlangit. Juga, sorga
berada di pucuk pohon pinus:
aku melihat pohon itu dari pekarangan belakang rumah nenek.

Salah satu tandatanya yang mencekik leherku bertanya:
kenapa. Aku tahu telah lama dia bersahabat dengan para kalong pemandu.
Dan juga dengan peri dan mambang
bersayap empat atau enam atau delapan. Katanya.
Semua hanya meringankan jalan ke sorga.

Yang lain: tandatanya lain yang mencekik leherku hanya terdiam. Atau.
Hanya purapura terdiam. Mereka tahu. Dan mengetahui:
sorga hanyalah pemilih.
Dan memilih. Orangorang yang melarikan diri dari cahaya.
Dan juga. Orang dengan sayap berjumlah empat atau enam atau delapan.
Pada suatu hari lahir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007