Langsung ke konten utama

Sajakku

Kutulis lagi sajak-sajak baru pada batu-batu. Karena sajakku hanyalah sajak para batu.

Menulis impian serupa menulis lajunya semangat kepak sayap elang. Aku ingin membingkai hariku serupa deras alur sungai yang mengalir di tubuh pertiwiku.

Telah kutulis juga tentang cerita bocah-bocah kembara yang mengasi hidupnya di atas sisa-sisa ludah yang lain. Tanah-tanahmu yang kadang lembab, kadang tandus, kini penuh Lumpur. Tak cukup rumah-rumah, padi-padi kami melambai-lambaikan tangannya meminta penghibaanmu. Tapi banyak diantara kami mungkin terlalu sombong lama tak menegurmu.



Ingin kutulis juga tentang ikan-ikan yang menari dalam baharimu. Di tengah-tengah tariannya, ia mengadu pada bahari tentang buasnya makhluk bernama manusia di atas bumi. Tintaku tak cukup terang menggarisbawahi apakah tarian ikan hanya sebuah provokasi atau memang kesalahan dahsyat dalam aneka birokrasi hidup bumi. Bahari kadang diam bungkam. Tapi suatu kali emosinya membirahi menghanyutkan deru nafas keangkuhan, kenistaan, kepaan, kesengsaraan, semua berkumpul menjadi bubur Lumpur dalam kubahmu. Langit hanya mampu menatap, menangis. Airmatanya serupa tinta kadang putih, kadang merah, lalu hitam, kelam, kusam

Sajak yang padam.



Kekasih, masih aku merindukan terang dari gelap yang kau titipkan. Masih kurindukan kemaafan dalam alfaku yang begitu dalam

(‘07)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007