Langsung ke konten utama

Sajak-sajak Andri Anda Saputra

Relief di Puncak Bukit

di puncak bukit sekumpulan semak
telah lupa jadi pohon

bertahun hidup
menggambar jejak yang lembab
di bawah musim

ketika tahun-tahun menjadi kering
ia menjelma wajah bisu burung-burung,

menatap kepergian awan
dari utara

Kandangpadati, 2007





Relief di Jalan Pulang

patung-patung debu
yang pecah dari batu
yang lahir di ujung gagu
tegak menunggu

di balik udara padat
berbagi tubuh
menempuh ruh
yang luruh

Kandangpadati, 2007





Relief di Kota

dini hari terasa lebih dingin. orang-orang
kembali jadi batu di rumah-rumah tanpa lampu.
di ujung gang, bulan pecah melolong panjang
menyembur jalan-jalan. di mata pengembara,
sebuah ladang perburuan.

Kandangpadati, 2007





Relief dari Bukit Lampu

dan kita berkejaran mencuri maksud di antara pintal ombak
di bawah bayangan nujum badan kapal yang pernah karam
sebuah kisah kita turunkan dari layar,
kisah yang seusia bukit berpanah pendar,
bukit yang dulu lerai dari ingatan,
yang bermusim-musim menjadi isyarat atas angin dan hujan

dan kita pun sampai ketika lereng runtuh jadi tepian
lewat dengung angin yang terasa makin rampai
lewat isak air yang terus menampar sakit pelabuhan
menggulung perih berpaut sepi pantai

tapi kita tak henti berkejaran
menghalau nujum sekoci yang lepas saat buritan akhirnya tertelan
membawa sepeti kisah larung ke palung

kitalah yang menimbun tubuh dalam pasir
saat teluk mengendap kisah pelayaran

Kandangpadati, 2007





Novelia

sebuah pagi yang ditumbuhi lumut mengusung basah musim
dan aroma hijau mengeras tiap setengah tahun
yang berlalu dengan ragam nyanyian
menambatkan usiaku serupa lukah yang dipasang malam
dan diangkat ketika subuh dibuka dalam kalimat doa

hari yang ditandai retak kulit, saat novelia berlari
mengitari alam lain lalu turun dalam igau yang sayup
membawa ingatan akan setengah tahun lalu
di mana sunyi tak jatuh bersama rintik hujan

hanya tanah yang lembab embun,
getah mengering bersama cuaca mengekalkan sekepal rindu
bagai batang kopi yang ranggas mendiami parak
tempat sesuatu dalam tubuh berdenyut menembus rimbun daun

lalu ada yang menyisipkan salam
menggenang tiap langit pecah menyemai butir-butir air

Kandangpadati, 2007





Pintu

datang dan masuklah. jalanan masih basah, sisa tangis
yang meluap dalam kota. orang-orang hilang. raib di balik pintu-pintu.
sepotong wajah pada genangan terus memucat, mencatat sepi yang gegas.
lampu-lampu hambar menunggui penghabisan malam. dan kini
hanya sehamparan mimpi yang koyak menghadirkan sesosok tubuh
di antara gaung suara yang tercekat.

seperti ada yang tercekik, entah siapa. mungkin bayangan
pada kelebat daun pintu ditimpa cuaca. ia berkarat, disinggahi lumut
atau lelah menguak rahasia di balik ruang-ruang.

Kandangpadati, 2007





Kelahiran
;20 tahun, ibu


seperti musim terus menguning. tiap petang burung-burung menyusun sayap pada langit yang sama, laut yang sama. dan pada hari yang sama kita pun selalu menakar tubuh dengan saling menjenguk. tapi, kiloan jarak mesti kutempuh
sebab aku seumpama biduk larung dari jauh. barangkali di tahun-tahun lain kita bisa bersua. sejak sebait perih kau lesapkan.
aku tak pernah lupa membingkainya.

suara siapakah yang menggema di ujung sana? kau atau aku,
mendengar kidung seperti mengingat tangis dan tawa. kita masih sama.
tapi ada yang hilang saat kau datang padaku: sebaris usia yang terlempar
dari langit, sebatang tubuh yang gaduh dari tanah.

aku tahu. kaulah yang turun bukit dengan mata penuh kabut.
di lereng-lereng gigil kulitmu tercium bau lumut yang disabit getah embun.
adakah saat itu kita telah saling mengenal? mengeja langkah serupa takut
takkan bersua. kau atau aku, tak kutemu jalan tempat kita datang
dan bakal berpulang.

di ingatan lain, di tahun-tahun yang berubah cepat, aku pernah mengenalmu.
seorang bocah dengan ubun-ubun basah. yang takut saat lampu padam
tengah malam, yang sendiri menatap hujan ranggas di puncak dahan.

tapi, semakin kau lipat kendur matamu, kau bentang kerut uratmu,
aku akan datang memintas hari ke arah senja menguap. kugadaikan
pekat darah yang tertumpah saat kelahiran mengutusku. menikam tangis,
menahan rindu sepanjang igau.

waktu pun merambat pada sore yang menguning. burung-burung itu masih menyusun sayap, menakar hidup dengan saling menjenguk. untuk laut dan anak-anak yang terus tumbuh mengasah paruh.

Kandangpadati, 2007





Di Bukit Mata Air
; Syafa, Marwa


tubuh mana telah membius sepasang kaki hingga kemari, ke lembah bukit yang ditinggalkan pijar bumi. padahal tak dahan yang bisa dipatah, tak daging yang bakal dijarah, dan doa-doa telah raib di puncak kalah. sementara
kau datang padaku. melempar sebait pesan tentang ruang dan waktu.
bumi pun jadi igau.

telah kutempuh ratusan masa dari hidupmu, saat hutan yang gagu
perlahan terbakar jadi abu, puluhan gunung berparas tajam
terusir hamparan pasir dan kerikil, juga ketika hujan masih turun
satu-satu di tanah itu. aku terus memilin lamun, mengharap
sepasang sayap malaikat gurun hembuskan suara tangis
yang mereda dalam sebuah mata air. namun adakah
bau gurun itu endapi tubuhku melebihi denyut gelembung urat
di matamu?
tubuh yang kau tinggalkan kini telah beranjak dewasa.
kaki kecilnya yang dahulu hanya sepasang lekuk angin
di sela jemarimu telah memiyuh sepi padang untukku. membasuh
debu di hijau daun yang kupetik, bakal atap untuk bermalam. tapi,
di masa yang mana kau tuai sebuah perkara, hingga kau tugasi aku
mengasah indra?
seperti kisahmu: nasib yang terbingkai, takdir yang telah diurai.
aku mengarungi mata luka yang disimpan orang-orang tersebab perih
melepas usia. dan aku, si pencari air ini, yang meneguk ratusan kabut
ke dalam pori, yang melunta di antara perdu-perdu berduri, tak pernah
menakar hari, kecuali saat kau lesap dan udara senyap kembali.

dan hujan telah tumbuh dalam sebentuk pucuk yang menjulang. sepasang kaki yang lelah telah lama beruzlah, meninggalkan lembah, menjauhi bukit
dan potongan kisah. kau pun kembali datang padaku ketika sebait pesan tentang nasib: sebuah alir dari mata yang cair, menguap, menghisap aku
ke dalam pusaran kitab.

Kandangpadati, 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...