Relief di Puncak Bukit
di puncak bukit sekumpulan semak
telah lupa jadi pohon
bertahun hidup
menggambar jejak yang lembab
di bawah musim
ketika tahun-tahun menjadi kering
ia menjelma wajah bisu burung-burung,
menatap kepergian awan
dari utara
Kandangpadati, 2007
Relief di Jalan Pulang
patung-patung debu
yang pecah dari batu
yang lahir di ujung gagu
tegak menunggu
di balik udara padat
berbagi tubuh
menempuh ruh
yang luruh
Kandangpadati, 2007
Relief di Kota
dini hari terasa lebih dingin. orang-orang
kembali jadi batu di rumah-rumah tanpa lampu.
di ujung gang, bulan pecah melolong panjang
menyembur jalan-jalan. di mata pengembara,
sebuah ladang perburuan.
Kandangpadati, 2007
Relief dari Bukit Lampu
dan kita berkejaran mencuri maksud di antara pintal ombak
di bawah bayangan nujum badan kapal yang pernah karam
sebuah kisah kita turunkan dari layar,
kisah yang seusia bukit berpanah pendar,
bukit yang dulu lerai dari ingatan,
yang bermusim-musim menjadi isyarat atas angin dan hujan
dan kita pun sampai ketika lereng runtuh jadi tepian
lewat dengung angin yang terasa makin rampai
lewat isak air yang terus menampar sakit pelabuhan
menggulung perih berpaut sepi pantai
tapi kita tak henti berkejaran
menghalau nujum sekoci yang lepas saat buritan akhirnya tertelan
membawa sepeti kisah larung ke palung
kitalah yang menimbun tubuh dalam pasir
saat teluk mengendap kisah pelayaran
Kandangpadati, 2007
Novelia
sebuah pagi yang ditumbuhi lumut mengusung basah musim
dan aroma hijau mengeras tiap setengah tahun
yang berlalu dengan ragam nyanyian
menambatkan usiaku serupa lukah yang dipasang malam
dan diangkat ketika subuh dibuka dalam kalimat doa
hari yang ditandai retak kulit, saat novelia berlari
mengitari alam lain lalu turun dalam igau yang sayup
membawa ingatan akan setengah tahun lalu
di mana sunyi tak jatuh bersama rintik hujan
hanya tanah yang lembab embun,
getah mengering bersama cuaca mengekalkan sekepal rindu
bagai batang kopi yang ranggas mendiami parak
tempat sesuatu dalam tubuh berdenyut menembus rimbun daun
lalu ada yang menyisipkan salam
menggenang tiap langit pecah menyemai butir-butir air
Kandangpadati, 2007
Pintu
datang dan masuklah. jalanan masih basah, sisa tangis
yang meluap dalam kota. orang-orang hilang. raib di balik pintu-pintu.
sepotong wajah pada genangan terus memucat, mencatat sepi yang gegas.
lampu-lampu hambar menunggui penghabisan malam. dan kini
hanya sehamparan mimpi yang koyak menghadirkan sesosok tubuh
di antara gaung suara yang tercekat.
seperti ada yang tercekik, entah siapa. mungkin bayangan
pada kelebat daun pintu ditimpa cuaca. ia berkarat, disinggahi lumut
atau lelah menguak rahasia di balik ruang-ruang.
Kandangpadati, 2007
Kelahiran
;20 tahun, ibu
seperti musim terus menguning. tiap petang burung-burung menyusun sayap pada langit yang sama, laut yang sama. dan pada hari yang sama kita pun selalu menakar tubuh dengan saling menjenguk. tapi, kiloan jarak mesti kutempuh
sebab aku seumpama biduk larung dari jauh. barangkali di tahun-tahun lain kita bisa bersua. sejak sebait perih kau lesapkan.
aku tak pernah lupa membingkainya.
suara siapakah yang menggema di ujung sana? kau atau aku,
mendengar kidung seperti mengingat tangis dan tawa. kita masih sama.
tapi ada yang hilang saat kau datang padaku: sebaris usia yang terlempar
dari langit, sebatang tubuh yang gaduh dari tanah.
aku tahu. kaulah yang turun bukit dengan mata penuh kabut.
di lereng-lereng gigil kulitmu tercium bau lumut yang disabit getah embun.
adakah saat itu kita telah saling mengenal? mengeja langkah serupa takut
takkan bersua. kau atau aku, tak kutemu jalan tempat kita datang
dan bakal berpulang.
di ingatan lain, di tahun-tahun yang berubah cepat, aku pernah mengenalmu.
seorang bocah dengan ubun-ubun basah. yang takut saat lampu padam
tengah malam, yang sendiri menatap hujan ranggas di puncak dahan.
tapi, semakin kau lipat kendur matamu, kau bentang kerut uratmu,
aku akan datang memintas hari ke arah senja menguap. kugadaikan
pekat darah yang tertumpah saat kelahiran mengutusku. menikam tangis,
menahan rindu sepanjang igau.
waktu pun merambat pada sore yang menguning. burung-burung itu masih menyusun sayap, menakar hidup dengan saling menjenguk. untuk laut dan anak-anak yang terus tumbuh mengasah paruh.
Kandangpadati, 2007
Di Bukit Mata Air
; Syafa, Marwa
tubuh mana telah membius sepasang kaki hingga kemari, ke lembah bukit yang ditinggalkan pijar bumi. padahal tak dahan yang bisa dipatah, tak daging yang bakal dijarah, dan doa-doa telah raib di puncak kalah. sementara
kau datang padaku. melempar sebait pesan tentang ruang dan waktu.
bumi pun jadi igau.
telah kutempuh ratusan masa dari hidupmu, saat hutan yang gagu
perlahan terbakar jadi abu, puluhan gunung berparas tajam
terusir hamparan pasir dan kerikil, juga ketika hujan masih turun
satu-satu di tanah itu. aku terus memilin lamun, mengharap
sepasang sayap malaikat gurun hembuskan suara tangis
yang mereda dalam sebuah mata air. namun adakah
bau gurun itu endapi tubuhku melebihi denyut gelembung urat
di matamu?
tubuh yang kau tinggalkan kini telah beranjak dewasa.
kaki kecilnya yang dahulu hanya sepasang lekuk angin
di sela jemarimu telah memiyuh sepi padang untukku. membasuh
debu di hijau daun yang kupetik, bakal atap untuk bermalam. tapi,
di masa yang mana kau tuai sebuah perkara, hingga kau tugasi aku
mengasah indra?
seperti kisahmu: nasib yang terbingkai, takdir yang telah diurai.
aku mengarungi mata luka yang disimpan orang-orang tersebab perih
melepas usia. dan aku, si pencari air ini, yang meneguk ratusan kabut
ke dalam pori, yang melunta di antara perdu-perdu berduri, tak pernah
menakar hari, kecuali saat kau lesap dan udara senyap kembali.
dan hujan telah tumbuh dalam sebentuk pucuk yang menjulang. sepasang kaki yang lelah telah lama beruzlah, meninggalkan lembah, menjauhi bukit
dan potongan kisah. kau pun kembali datang padaku ketika sebait pesan tentang nasib: sebuah alir dari mata yang cair, menguap, menghisap aku
ke dalam pusaran kitab.
Kandangpadati, 2007
di puncak bukit sekumpulan semak
telah lupa jadi pohon
bertahun hidup
menggambar jejak yang lembab
di bawah musim
ketika tahun-tahun menjadi kering
ia menjelma wajah bisu burung-burung,
menatap kepergian awan
dari utara
Kandangpadati, 2007
Relief di Jalan Pulang
patung-patung debu
yang pecah dari batu
yang lahir di ujung gagu
tegak menunggu
di balik udara padat
berbagi tubuh
menempuh ruh
yang luruh
Kandangpadati, 2007
Relief di Kota
dini hari terasa lebih dingin. orang-orang
kembali jadi batu di rumah-rumah tanpa lampu.
di ujung gang, bulan pecah melolong panjang
menyembur jalan-jalan. di mata pengembara,
sebuah ladang perburuan.
Kandangpadati, 2007
Relief dari Bukit Lampu
dan kita berkejaran mencuri maksud di antara pintal ombak
di bawah bayangan nujum badan kapal yang pernah karam
sebuah kisah kita turunkan dari layar,
kisah yang seusia bukit berpanah pendar,
bukit yang dulu lerai dari ingatan,
yang bermusim-musim menjadi isyarat atas angin dan hujan
dan kita pun sampai ketika lereng runtuh jadi tepian
lewat dengung angin yang terasa makin rampai
lewat isak air yang terus menampar sakit pelabuhan
menggulung perih berpaut sepi pantai
tapi kita tak henti berkejaran
menghalau nujum sekoci yang lepas saat buritan akhirnya tertelan
membawa sepeti kisah larung ke palung
kitalah yang menimbun tubuh dalam pasir
saat teluk mengendap kisah pelayaran
Kandangpadati, 2007
Novelia
sebuah pagi yang ditumbuhi lumut mengusung basah musim
dan aroma hijau mengeras tiap setengah tahun
yang berlalu dengan ragam nyanyian
menambatkan usiaku serupa lukah yang dipasang malam
dan diangkat ketika subuh dibuka dalam kalimat doa
hari yang ditandai retak kulit, saat novelia berlari
mengitari alam lain lalu turun dalam igau yang sayup
membawa ingatan akan setengah tahun lalu
di mana sunyi tak jatuh bersama rintik hujan
hanya tanah yang lembab embun,
getah mengering bersama cuaca mengekalkan sekepal rindu
bagai batang kopi yang ranggas mendiami parak
tempat sesuatu dalam tubuh berdenyut menembus rimbun daun
lalu ada yang menyisipkan salam
menggenang tiap langit pecah menyemai butir-butir air
Kandangpadati, 2007
Pintu
datang dan masuklah. jalanan masih basah, sisa tangis
yang meluap dalam kota. orang-orang hilang. raib di balik pintu-pintu.
sepotong wajah pada genangan terus memucat, mencatat sepi yang gegas.
lampu-lampu hambar menunggui penghabisan malam. dan kini
hanya sehamparan mimpi yang koyak menghadirkan sesosok tubuh
di antara gaung suara yang tercekat.
seperti ada yang tercekik, entah siapa. mungkin bayangan
pada kelebat daun pintu ditimpa cuaca. ia berkarat, disinggahi lumut
atau lelah menguak rahasia di balik ruang-ruang.
Kandangpadati, 2007
Kelahiran
;20 tahun, ibu
seperti musim terus menguning. tiap petang burung-burung menyusun sayap pada langit yang sama, laut yang sama. dan pada hari yang sama kita pun selalu menakar tubuh dengan saling menjenguk. tapi, kiloan jarak mesti kutempuh
sebab aku seumpama biduk larung dari jauh. barangkali di tahun-tahun lain kita bisa bersua. sejak sebait perih kau lesapkan.
aku tak pernah lupa membingkainya.
suara siapakah yang menggema di ujung sana? kau atau aku,
mendengar kidung seperti mengingat tangis dan tawa. kita masih sama.
tapi ada yang hilang saat kau datang padaku: sebaris usia yang terlempar
dari langit, sebatang tubuh yang gaduh dari tanah.
aku tahu. kaulah yang turun bukit dengan mata penuh kabut.
di lereng-lereng gigil kulitmu tercium bau lumut yang disabit getah embun.
adakah saat itu kita telah saling mengenal? mengeja langkah serupa takut
takkan bersua. kau atau aku, tak kutemu jalan tempat kita datang
dan bakal berpulang.
di ingatan lain, di tahun-tahun yang berubah cepat, aku pernah mengenalmu.
seorang bocah dengan ubun-ubun basah. yang takut saat lampu padam
tengah malam, yang sendiri menatap hujan ranggas di puncak dahan.
tapi, semakin kau lipat kendur matamu, kau bentang kerut uratmu,
aku akan datang memintas hari ke arah senja menguap. kugadaikan
pekat darah yang tertumpah saat kelahiran mengutusku. menikam tangis,
menahan rindu sepanjang igau.
waktu pun merambat pada sore yang menguning. burung-burung itu masih menyusun sayap, menakar hidup dengan saling menjenguk. untuk laut dan anak-anak yang terus tumbuh mengasah paruh.
Kandangpadati, 2007
Di Bukit Mata Air
; Syafa, Marwa
tubuh mana telah membius sepasang kaki hingga kemari, ke lembah bukit yang ditinggalkan pijar bumi. padahal tak dahan yang bisa dipatah, tak daging yang bakal dijarah, dan doa-doa telah raib di puncak kalah. sementara
kau datang padaku. melempar sebait pesan tentang ruang dan waktu.
bumi pun jadi igau.
telah kutempuh ratusan masa dari hidupmu, saat hutan yang gagu
perlahan terbakar jadi abu, puluhan gunung berparas tajam
terusir hamparan pasir dan kerikil, juga ketika hujan masih turun
satu-satu di tanah itu. aku terus memilin lamun, mengharap
sepasang sayap malaikat gurun hembuskan suara tangis
yang mereda dalam sebuah mata air. namun adakah
bau gurun itu endapi tubuhku melebihi denyut gelembung urat
di matamu?
tubuh yang kau tinggalkan kini telah beranjak dewasa.
kaki kecilnya yang dahulu hanya sepasang lekuk angin
di sela jemarimu telah memiyuh sepi padang untukku. membasuh
debu di hijau daun yang kupetik, bakal atap untuk bermalam. tapi,
di masa yang mana kau tuai sebuah perkara, hingga kau tugasi aku
mengasah indra?
seperti kisahmu: nasib yang terbingkai, takdir yang telah diurai.
aku mengarungi mata luka yang disimpan orang-orang tersebab perih
melepas usia. dan aku, si pencari air ini, yang meneguk ratusan kabut
ke dalam pori, yang melunta di antara perdu-perdu berduri, tak pernah
menakar hari, kecuali saat kau lesap dan udara senyap kembali.
dan hujan telah tumbuh dalam sebentuk pucuk yang menjulang. sepasang kaki yang lelah telah lama beruzlah, meninggalkan lembah, menjauhi bukit
dan potongan kisah. kau pun kembali datang padaku ketika sebait pesan tentang nasib: sebuah alir dari mata yang cair, menguap, menghisap aku
ke dalam pusaran kitab.
Kandangpadati, 2007
Komentar
Posting Komentar