PELABUHAN
hari ini matahari terlambat bangun tidur, katamu
dan keabadian sajak telah kau pahat dalam ranjang-ranjang
yang mengekang lenguh-lenguh perawan
kalender-kalender telah botak. bila kau bosan mengangkat panggilan dari kesunyian,
di hatiku ada cermin retak. masuklah. angin terlalu kencang untuk berjalan
akan kita nyalakan tungku-tungku yang patahkan waktu setelah kau jemu pecahkan tampuk rindu
dinding-dinding yang sabar. kertas-kertas yang lapar.
adalah pelabuhan yang menampar tahun-tahun penantian para penggali sumur air mata
yang jenuh berkeluh kesah. catatlah! catatlah!
kegelisahanpun menahun
lahirkan tinta-tinta yang racun
padang, desember 2007
SAKIT RUMAH
ternyata masih kudengar sedu mu ketika ku tertatih menjerang kantuk.
hai. di suatu pagi, pernah pula ku dengar sedu yang sama
diantara kardus yang bisu, dan diantara selimut berbulu
menyerapahi gegedung yang menggunung
negri ini terlanjur konyol,
tempat disenandungkan sumpahsumpah yang klise
jadi kita tak perlu lagi memakai wajah ini mulai besok pagi
karena di bilangan pasirpasir, wajahwajah dapat digantiganti setiap hari
air mata tak lagi setajam pedang, dan kau tahu itu!
maka ini terlalu parak siang untuk mengelap peti kematian meski peradaban bukan lagi kawan sepermainan
aku tahu. kita serupa pencatat musim-musim yang singgah
dan di tepian pelabuhan kita terlanjur sakit rumah.
padang, desember 2007
BACALAH RAMBU
setiap pedang yang kau titip dalam hujan air liur. mengantar jabat tangan
yang sangat ku hafal dalam semata angin. lalu ribuan bertenggang pun ku habiskan membaca jejak
perjalanan yang kuraba dengan suluh redup.
kala ku tiba membawa kaba yang tak sudah. kau masih saja buta akan aksara pengembaraan. Oh, bukankah aku pernah mencabut sebatang rambu-rambu yang bertulis rindu dan memampang nya di depan pintu mu
yang tiap ku ketuk semakin ku terkutuk
jam dinding masih berlari, mandan.
mengerjaiku dengan bisik laut yang tak tentu masa yang dulu teringkari.
mungkin aku akan pulang pada dermaga yang kau bangun dari sisa kayu pagar itu suatu nanti.
ku harap kau tak lagi membaca terbalik rambu-rambu itu
padang, desember 2007
HALTE
Disini kita tak saling menemu diri. Sebab tak ada yang mesti dipertemukan
Diantara kepergian dan kepulangan.
Kau yang merajut payung; bilamana hatimu hujan saja tak peduli musim
Dan akulah yang selalu menolak pemberianmu
“bawalah, mendung sudah memberat.”
Aku tak perlu akannya. Bahagialah aku pada kekuyupanku
Seseorang telah membangun halte ini. tapi tiada yang menemu diri
Karena tak ada yang patut dipertemukan
Antara kepergian dan kepulangan
Padang, desember 2007
hari ini matahari terlambat bangun tidur, katamu
dan keabadian sajak telah kau pahat dalam ranjang-ranjang
yang mengekang lenguh-lenguh perawan
kalender-kalender telah botak. bila kau bosan mengangkat panggilan dari kesunyian,
di hatiku ada cermin retak. masuklah. angin terlalu kencang untuk berjalan
akan kita nyalakan tungku-tungku yang patahkan waktu setelah kau jemu pecahkan tampuk rindu
dinding-dinding yang sabar. kertas-kertas yang lapar.
adalah pelabuhan yang menampar tahun-tahun penantian para penggali sumur air mata
yang jenuh berkeluh kesah. catatlah! catatlah!
kegelisahanpun menahun
lahirkan tinta-tinta yang racun
padang, desember 2007
SAKIT RUMAH
ternyata masih kudengar sedu mu ketika ku tertatih menjerang kantuk.
hai. di suatu pagi, pernah pula ku dengar sedu yang sama
diantara kardus yang bisu, dan diantara selimut berbulu
menyerapahi gegedung yang menggunung
negri ini terlanjur konyol,
tempat disenandungkan sumpahsumpah yang klise
jadi kita tak perlu lagi memakai wajah ini mulai besok pagi
karena di bilangan pasirpasir, wajahwajah dapat digantiganti setiap hari
air mata tak lagi setajam pedang, dan kau tahu itu!
maka ini terlalu parak siang untuk mengelap peti kematian meski peradaban bukan lagi kawan sepermainan
aku tahu. kita serupa pencatat musim-musim yang singgah
dan di tepian pelabuhan kita terlanjur sakit rumah.
padang, desember 2007
BACALAH RAMBU
setiap pedang yang kau titip dalam hujan air liur. mengantar jabat tangan
yang sangat ku hafal dalam semata angin. lalu ribuan bertenggang pun ku habiskan membaca jejak
perjalanan yang kuraba dengan suluh redup.
kala ku tiba membawa kaba yang tak sudah. kau masih saja buta akan aksara pengembaraan. Oh, bukankah aku pernah mencabut sebatang rambu-rambu yang bertulis rindu dan memampang nya di depan pintu mu
yang tiap ku ketuk semakin ku terkutuk
jam dinding masih berlari, mandan.
mengerjaiku dengan bisik laut yang tak tentu masa yang dulu teringkari.
mungkin aku akan pulang pada dermaga yang kau bangun dari sisa kayu pagar itu suatu nanti.
ku harap kau tak lagi membaca terbalik rambu-rambu itu
padang, desember 2007
HALTE
Disini kita tak saling menemu diri. Sebab tak ada yang mesti dipertemukan
Diantara kepergian dan kepulangan.
Kau yang merajut payung; bilamana hatimu hujan saja tak peduli musim
Dan akulah yang selalu menolak pemberianmu
“bawalah, mendung sudah memberat.”
Aku tak perlu akannya. Bahagialah aku pada kekuyupanku
Seseorang telah membangun halte ini. tapi tiada yang menemu diri
Karena tak ada yang patut dipertemukan
Antara kepergian dan kepulangan
Padang, desember 2007
Komentar
Posting Komentar