Langsung ke konten utama

Kelahiran

Kelahiran

;20 tahun, ibu


seperti musim terus menguning. tiap petang burung-burung menyusun sayap pada langit yang sama, laut yang sama. dan pada hari yang sama kita pun selalu menakar tubuh dengan saling menjenguk. tapi, kiloan jarak mesti kutempuh
sebab aku seumpama biduk larung dari jauh. barangkali di tahun-tahun lain kita bisa bersua. sejak sebait perih kau lesapkan.
aku tak pernah lupa membingkainya.

suara siapakah yang menggema di ujung sana? kau atau aku,
mendengar kidung seperti mengingat tangis dan tawa. kita masih sama.
tapi ada yang hilang saat kau datang padaku: sebaris usia yang terlempar
dari langit, sebatang tubuh yang gaduh dari tanah.

aku tahu. kaulah yang turun bukit dengan mata penuh kabut.
di lereng-lereng gigil kulitmu tercium bau lumut yang disabit getah embun.
adakah saat itu kita telah saling mengenal? mengeja langkah serupa takut
takkan bersua. kau atau aku, tak kutemu jalan tempat kita datang
dan bakal berpulang.

di ingatan lain, di tahun-tahun yang berubah cepat, aku pernah mengenalmu.
seorang bocah dengan ubun-ubun basah. yang takut saat lampu padam
tengah malam, yang sendiri menatap hujan ranggas di puncak dahan.

tapi, semakin kau lipat kendur matamu, kau bentang kerut uratmu,
aku akan datang memintas hari ke arah senja menguap. kugadaikan
pekat darah yang tertumpah saat kelahiran mengutusku. menikam tangis,
menahan rindu sepanjang igau.

waktu pun merambat pada sore yang menguning. burung-burung itu masih menyusun sayap, menakar hidup dengan saling menjenguk. untuk laut dan anak-anak yang terus tumbuh mengasah paruh.

Kandangpadati, 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007