Langsung ke konten utama

Kabar Duka Citaku

*
kutulis apa yang tak ingin kusebut
sebagai puisi ini, karena kutahu
bahwa mungkin tak bisa denganmu
kurasakan untuk bersama
*
menelusur langkah dalam kesendirian
semuanya tiba-tiba seperti bicara
mengajak hampa perlahan berbentuk
tentang jejak-jejak tangis dan tawa
sambil meraba nada-nada masa depan
di tiap-tiap tepi jalan
pada debu beterbangan, bunga yang menari,
lagu bocah-bocah dan pulas para angsa
hari ini cerita hamil oleh kenangan
*
kenangan bersijingkat di atas genangan air
ataukah fatamorgana dibias silau
ada wajah yang rinaikan tawa
berceloteh tentang kepodang terbang sepasang
memahat cakrawala jadi ukiran kasmaran
wajah siapa
di langit awan cemerlang pantulkan cahaya
membuat bayang-ayang genit menari
menggelitik dengan sisa hujan
di sudut bibir
aku berpaling
ada kelopak mawar lagi tersipu
hingga desau angin luruhkan daun mahoni
antarkan kembali sadarku
pada jalan tempat tengah melangkah
menapaki sunyi yang satu-satu terawang
*
terawang menyata
telah begitu jauh kugandeng tiadamu
dalam hari-hari yang dirajut
jadi sehelai angan
adalah wajahku
sebagai catatan kelahiran yang duka
dan perlahan bersijingkat di atas genangan air
aku tiba di seberang ketak-pastian
*
pasti kebodohan, itu jadi nyata
yang telah mencampakkan waktu
ke enggan untuk temui lelap
ke enggan untuk berterus terang
ke enggan dalam suasana yang takut
adakah perpisahan andai terjadi
akan tetap berasa nikmat?
sebagai bahagia pamit dari rahim ibu
sebagai bahagia di masa kanak-kanak
akankah tetap berasa nikmat?
bukan penyesalan berkepanjangan
usai alami kenyataan
taklah semulus tangis bayi
usai mencatat di separuh sejarah
tak sehangat dalam rahim bunda
dan hadirmu
taklah pasti kapan segera tiba
*
tiba dari detik bergulir jadikan hari
mengapa harus menyeret serta gelisah
suara-suara yang terpendam mencari jalan
tentang adam dan hawa yang terlempar
pada porak-porandanya dunia
haruskah tertuang sendiri ke dalam puisi?
di mana di dinding pelapiasan yang lain?
yang kini jadi benih-benih rindu
dalam kesemestaannya rasa yang agung
sebagai pengakuan
betapa takutnya untuk sendiri
*
jangan cari pengertiannya
jika memang itu dapat dibentuk
jika memang sedia berikan jalan buatnya
ia akan mengalir sebening embun
tinggal bagimana
untuk berterus terang pada diri sendiri
*
“black of probabilities
in all of mistery”
sendiri pandangi telanjang tubuh
di terawang langit-langit
ada noktah-noktah biru pucat
di bekas air mata
dukaku telah menangis
di laju langkah terseret jatuh
dan bangun lagi
sebagai roba yang terikat di tungkai kaki
tiba di garis perbatasan
akan terjawab semua tugas yang belum usai
*
kutulis apa yang tak ingin kusebut
sebagai puisi ini, karena kutahu
bahwa mungkin tak bisa denganmu
kurasakan untuk bersama
*
pada siapa duka dapat berbagi
kalau canda tak dapat tawarkan tawa
kalau garis takdir memang tak dapat dielak
pada siapa duka dapat dibagi
kalau tawa hanya tawarkan hampa
kalau masing-masing tak ingin terus terang
tentang kedukaannya
*
terpujilah keagungan cinta
yang ditebarkan Tuhan lewat firman-Nya
namun siapakah yang akan menuai
jika ia hinggap begitu tinggi
dan tergantung di bintang
tak ada sayap
buat antarkan ke sana
tak ada angin
buat hempaskan ia ke sini
maka terlukislah dalam angan
cinta ternyata
kelip api di kejauhan
di bentang jarak yang panjang
antara kedinginan
yang lamur menatap
namun sangat ingin menggapai
*
sejenak kubuka catatan harian
hari apa ini?
(rabu dia menjawab)
seperti tanpa ingin tahu
hari ini
adalah hari aku jatuh cinta padanya
pada goresan tinta
yang dirujukkan pada hatiku
dengan kecemburuan
tertanam menyerta tak percaya jadi rasa
dengan keinginan
tertuang menyerta tak mungkin akankah jadi pasti
kutelusuri sebaris kata-kata
yang kuberikan garis bawah
dan semoga aku tak berbohong
maka kugapailah bulan
kusandarkan ke dinding
biar kudekap
biar kukecup
ia pun mengalir sebening embun
tidakkah?
mengapa hujatan kuberikan pada diri ini
dia tertinggal di puncak mega berarak
dan singgah di genangan air
sebelum bersijingkat
itu adalah bayangan bulan tapi bukan bulan
*
bulan yang hilang kuketuk pintu malam
biar pun enggan
aku telah dipenuhi ingin
mencari sebentuk cerita
hilang dalam mimpi yang terlupa
direnggut keterasingan yang jadi rasa
padahal
biarku berteman dalam lelap yang ogah
menunggu benih subuh berkecambah
sambil bersandar di embun yang turun
tapi tak lagi mengalir
adalah jendela timbangan batas waktu,
engkau malam
aku berdiri menatap bintang jatuh
dari ufuk purbakala yang senja
mengusung aubade
jadikan serenata berita kelahiranku
malam, oh malam
ruang yang kosong
apa yang harus kuisikan
jika matahari datang mengganti
kuketuk pintumu
jika luka selalu mengantarkan padamu
*
inilah catatanku
kusimpan sebagai prasasti tawa yang gagal
:
“kau biarkan air itu membeku
di teriknya matahari
dikala arusnya ingin mengalir
mengalir ke lembah yang menyejukkan”1
*
inilah ia mengalir
ke kamar bilik sepi pengap
lentera yang padam luluh di prahara
bersama nyanyian duka bocah yang lapar
bersama genderang perang atas nama damai
di neraca keadilan tak lagi imbang
aku hidup di kamar itu
di emperan malam kamar tanpa dinding
di atas koran tentang kemunafikan
kusimak hanya jadi gelisah
dan ingin kubagi
karena duka semesta adalah aku
dan pada siapa dapat terbagi?
*
kutulis apa yang tak ingin kusebut
sebagai puisi ini, karena kutahu
bahwa mungkin tak bisa denganmu
kurasakan untuk bersama
*
inilah lentera yang kunyalakan
hanya jadi tegaskan waktu
semakin mempercepat kelam
dalam bayangan masa depan di kertas buram
maka
pipit dan kepodang bernyanyilah
tabahkan hausmu
karena nurani yang kemarau
sabarkan dirimu
karena pohon rebah di pertiwi yang luka
kita bersatu
dalam dunia yang bundar
bersegi banyak dan terlalu pintar
bagi satu kebodohan
yang dikhianati keagungan
yang jadi sekedar angan dalam tiap puisi
jauh
begitu jauh
untuk kuraih menggapainya
*
menggapaimu adalah menggapai bulan
walau terampas hanya bayangan
dapatkah jadi tempat untuk berbagi?
*
oh, cinta yang agung
berikan jalan yang lempang
pada semua kecemburuan mereka
pada semua keinginan mereka
berikan cerita
tentang kepodang terbang sepasang
memahat cakrawala jadi ukiran kasmaran
jangan biarkan aku sendiri
menuangkanya dalam puisi
berikan dinding pelapiasan yang lain
sebagai benih-benih rindu
dalam kesemestaan yang agung
*
haruskah tengadahkan tangan
meminta padamu
jika yang kubawa adalah seorang perempuan tua
buta dituntun gadis kecil
yang merah matanya
terusir satu-satu di pintu yang didatangi
atau lelaki menghela gerobak dorong
telusuri lorong-lorong yang lapar
mereka mengemis hidup
mereka wajah-wajah tabu untuk dibicarakan
di atas meja makan
mereka adalah aku
yang datang padamu
ingin lelap dalam hatimu
karena lelah dalam hatiku
bersama kesemestaan cinta yang agung
*
suara-suara terpendam dalam perjalanan
kini jadi pernyataan tentang rindu
terawang telah begitu jauh
kugandeng tiadamu
*
hari-hari dirajut jadi sehelai angan
adalah wajah-wajah
sebagai catatan kelahiran yang duka
dan perlahan bersijingkat
di atas genangan air
aku tiba di seberang ketak-pastian
adalah kau
sebagai pengakuan adanya luka
maka padamu kuingin berbagi
karena duka berkepanjangan
tak lebih
biar hadirku bukan masa depan
dan entah seberapa yang kudapat
aku tak peduli
jika memang buatku itu pasti
kutinggalkan kenangan akhir dukaku
jika memang harapku harus menguap
semoga perpisahan andai terjadi
akan tetap berasa nikmat
*
kutulis apa yang tak ingin kusebut
sebagai puisi ini, karena kutahu
bahwa mungkin tak bisa denganmu
kurasakan untuk bersama
*
inilah kabar duka citaku
sabtu 2 – senin 18 juli 1994

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...