Langsung ke konten utama

Sajak-Sajak Rio SY

Dengan Si Telunjuk Lurus

serupa kereta susu kutinggalkan ajal dan kukirim punggung tidurku
ke batang air pemandianmu. jabat tanganku, bersama-sama kita
kepucuk pagar menghardik belantara yang menyamakkan halaman hingga ke salang
bawah rumah. tidakkah kau lihat telunjukmu lurus tak berkait ?
oh, sudah tua benar telunjuk tak berkait ini rupanya. iyakah kau punya
dongeng untuk kami salawatkan saat terkepung hujan ?
kau adalah pohon menurutku. tempat bertanya dan berkabar. tapi hari ini
hujan saja dari pagi. karena sesobek rindu perlu dan hendak kita
perbincangkan. lalu kau tersenyum dalam sekerat kopi panas
" kita tak boleh menghodupkan lilin semalam ini, pulanglah ! orang rumahmu
berkelam-kelam sendiri di rumah " katamu

Ruangliku, 22 Juli 2007



Untung

kemana untungku ini akan kularikan ?
" ke timur saja " teriak bunga kapas.
aku berlari ke sana menghitung hari esok yang ada di belakangku
dan membaca lamapu di hadapanku. janganjangan ia datuak maringgih
yang mengawini bunga kapas untuk ke sekian kalinya. tidak. aku takkan
mengangkat bedil samsul itu lagi. akan kuguratkan dengan kukuku
lalu bermimpi tak jadi tidur, berjaga tak jadi nyalang. tenanglah, aku takkan
meludah. sudah kering benar kerongkonganku. tapi apakah aku bisa
menemukan untung di timur yang kau sebut tadi ?

Ruangliku, 22 Juli 2007


Memakai Nasib

kita makin tua memakai nasib dan memasangnya di rumahrumah
masih perlukah meminang, sedangkan kita melenguh saja
serupa kerbau kerbau. diamdiam aku menjumpaimu dan kau bertanya
tentang roda pedati. ternyata kita samasama taragakakan sebuah kerinduan
O betapa tuanya kita memakai nasib dan menggambarnya
pada kanvaskanvas pelukis. lalu bersitatap di balik tonggak
tapi tak mau menjenguk satu sama lain. padahal kita samasama rupa
dari kerinduan. dalam matamu tanduk itu kuraih untuk kampungkampung
berlari, kemudian tersungkur di kaki rabab sejuta dawai sejuta nada
dan jenjang yang kita keping berdendang mengikuti raba sejuta dawai

Ruangliku, Juli 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007