Langsung ke konten utama

Rumah Kabut

1
aku sampirkan malaikat
pada belah dadamu

kabut menggantung
rumah rumah tumbuh dewasa
angsa putih dengan iringan
kafan berahi

persis kebangkitan
potret yang kugantung
pada ujung golgota

2
bapakku tumbuh
dengan insang bernanah
perjalannku mencatat kota
kota kanibal tanpa peradaban

di mana tanah tak bernyawa
bukit kering
darah penyair mengalir
menyerupa Isa dengan batu
batu terbang
menjura planet di
pinggulmu

3
aku gambar
sajak yang kau kira kau
gambarkan
jendela tanpa wajah kau pandang
kampung layar mirip kau rindukan

aku kutuki
segenap pesona halilintar
bocah bersisik kerang
kau lempar
kehamilanmu
membiak di udara
mengelupas
dan perputaran pecah
patung, katedral kepercayaan
di mana hantu hantu
memekik
kelaminmu mengasingkan
bara

4
kau tahu
bagaimana pecahan bulan
membentuk raung
sebuah episoda, pohon pohon
di mana jalan harus dilempar
dan kepingan laut
tak harus bernama

5
sajakmu membahasakan ragu
ketika seluruh anak kecil memahat
jalan laut
pipa pipa menggambar bahasa
yang kau penjara
sebagaimana bayi menjelma
musang
dan sajakmu lebih pejalan
tanpa lukisannya

ada hujan yang musti
kau lewatkan
keindahan terkekal
dan gerimis membentuk
rasa ngeri
sebagai kemungkinan
lembu lembu terbakar

Juni 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007