Langsung ke konten utama

Ada Bibir Norah Jones di Cangkir Kopiku


Saat kulihat hari berganti, kuberharap dapat terbang tinggi¹

*
Kepada yang remang-remang
: sebuah bangku panjang
Bangku bambu akrab berderit.
Penyair kerap menjerit
Seperti yang kudengar
: desis air mendidih dari dalam teko



Apakah kesepian telah menjadi kebanggaan, Tuan Penyair?
Ada yang begitu menggelegak.
Pindah dari teko ke dalam cangkir
Mengalir. Mengalirlah begitu saja.
Tapi karena tak ingin menulis sungai,
kubiarkan tangis itu luruh.
Apakah itu gerimis yang membuatmu singgah?



*
Biarkan aku bersimpuh di pasir, menangkup tangisan dengan tangan²



*
Ada yang berputar dengan pelan,
pada kotaklagu : sebuah lagu kenangan
Angin yang bertiup di pepohonan rindang
sebelum langit mengirim hujan
Aku siapkan gigil yang panjang,
sedangkan kau melangkah pulang



Apakah kenangan itu rahasia
yang harus disembunyikan, Tuan Penyair?
Lalu ada yang begitu tersentak.
Tutup cangkir yang kubiarkan tergeletak
Agar kudapatkan sebuah hangat dari secangkir kopi,
kudekatkan kedua bibir
Tapi inikah sebuah ciuman yang memaksamu pindah?



*
Tetapi kau tetap di dalam hatiku, selamanya³







2007



¹-²-³ = Terjemahan bebas dari petikan lirik “Don’t Know Why – Norah Jones

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...