Langsung ke konten utama

Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung

Kangen dengan Joko Pinurbo? Setelah buku terakhirnya Pacarkecilku yang terbit di tahun 2002 barulah di tahun 2007 ini terbit lagi buku barunya yang berjudul Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung yang memuat sajak-sajak dari tiga antologi puisi terdahulunya yaitu , Celana, Di Bawah Kibaran Sarung, dan Pacarkecilku.Sayangnya antologi puisi ini tidak memuat karya penyair yang terbaru dari rentang tahun 2002 sampai dengan tahun 2007. Meski demikian tetap saja buku ini tidak akan dilewatkan oleh peminat penyair kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi , 45 tahun silam ini.

Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
Joko Pinurbo
Cetakan I : Mei 2007
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN-10:979-22-2841-1
219 Halaman

Salah satu puisi dalam antologi:

Keranda Ranjang



Ranjang meminta kembali tubuh
yang pernah dilahirkan dan diasuhnya
dengan sepenuh cinta.

"Semoga anakku yang pemberani,
yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan
menemukan jalan untuk pulang;
pun jika aku sudah lapuk dan karatan."

Tapi tubuh sudah begitu jauh mengembara.
Kalaupun sesekali datang, ia datang
hanya untuk menabung luka.

Dan ketika akhirnya pulang
ia sudah mayat tinggal rangka.

Bagi si buta yang renta dan terbata-bata
ia mengetuk-ngetuk pintu:"Ibu!"

Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar
memeluknya erat:" Aku rela menjadi keranda untukmu."

(1996)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...