Langsung ke konten utama

Semerbak Melati di Padang Sunyi


Setiap kali melangkah beribu-ribu jejak kuikuti
menyusuri hutan dan sabana, melintasi gemercik air

 


menjelajahi bukit-bukit dan lembah-lembah yang murung

 


tampak jelas tapak-tapak derita sang alam

 

Satu per satu keindahan itu mulai pudar

 


selangkah demi selangkah jejak itu membuat bencana

 


tampak jelas batu-batu cadas yang merintih kesakitan

 


lihatlah pepohonan mengaduh kepedihan

 

Yang dulu dikata orang kau begitu mempesona

 


yang dulu dibilang orang kau begitu melenakan

 


kini hanya tangis yang kurasakan

 


hanya penderitaan yang kau bagikan

 

Tak ada lagi senyum-mu yg membahagiakan

 


hilang sudah keceriaan yg mengobati hati ini

 


malang seakan terus menimpamu

 


hari demi hari kian menjadi

 

Hingar-bingar kehidupan dunia kita bawa kesana

 


nafsu angkara murka kita tanam didalamnya

 


hingga, langit pun tak kuasa mendengar jeritan-mu

 


sampai seisi alam ini bermandikan air mata

 

Kejam-kah kita pada-nya

 


setega itukan hati kita berbuat

 


masihkan ada setitik embun dihati ini

 


yang menyejukan luka alam ini

 

 

Komentar

  1. Aku berikan apresiasi yang tinggi atas dorongan nurani yang hadir pada diri anda untuk membangun rasa cinta kepada alam....Hanya saja andapun pasti merasakannya .....anda merasa sulit mengungkapkannya secara total bukan...?
    What ever upaya anda saya acungi jempol.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007