Langsung ke konten utama

ALFACÁR

Pada hari di batas kekejaman
telah diberkati sempurna  
Di saat aku berdiri tegar
tanpa keraguan dan kepedulian
ku tatap langit angkuh dan tajam
Alfacar yang pilu!
Demikian dengan penderitaan
dihujat oleh kepasrahan
menanggung sebuah dusta
tentang kemunafikan
yang paling adil di dunia!
Alfacar…
“Kematian atau pembebasan?”
Aku tak akan menggubris
sama seperti hukuman ini
dengan kengerian telanjang
dipertontonkan sama tercelanya
Alfacar…
Saat aku tertawa histeris
di bawah tiang gantungan
dan melihat seorang hakim
yang membuang wajahnya
waktu telah menjelang kematianku!
Alfacar!
Di kota ini akan hadir kekejian
ditunjukkan dengan kemurkaannya
“Tuhan, peganglah nafasku
seperti Kau telah memberinya
pada hari dimana seluruh orang
selalu menyebut nama-Mu
untuk menyambut kematianku!”

 Seperti kebebasan yang terhujat
di tahun yang penuh murka
sejarah ‘kan terukir indah
bersama dengan sebuah kematian
disambut beribu sorak dan jerit
yang menghardik kehidupan
Seorang pendoa atas titah raja
datang menyucikan kematianku
sama seperti yang dititahkan raja
menggiringku ke tiang kematian
“Mari berdoa”, katanya bergetar   
sekali lagi, aku tak peduli!
Alfacar…
Ini bukan hanya kekejian
juga bukan sekedar ketragisan!   
Ini sejarah kemenangan
oleh kemunafikan yang sempurna
diatas sucinya tahta kekuasaan!
Anna Boulette!
Di bayang pesona wajahmu
bersama dengan anak-anak kita
dan laparnya kita di hari yang lalu
Kita akan berkumpul sekali lagi
di Víznar yang anggun
setelah ku lalui eksekusi ini
di Alfacar yang meradang…
Juni 2006, Leonowens SP

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007