Langsung ke konten utama

Udo Z. Karzi

Lahir 12 Juni 1970 di Liwa, Lampung Barat. Menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (1996). Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa Teknokra (1993-1994), Pemimpin Umum Majalah Republica (1994-1996), dan Pembimbing Majalah Ijtihad (19955-1998). Banyak menimba pengalaman dari kelompok/kegiatan diskusi: Kelompok Studi Merah Putih, Forum Dialog Mahasiswa (Fordima), Forum for Information and Regional Development Studies (FIRDES), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Terjun ke dunia jurnalistik sebagai wartawan lepas harian umum Lampung Post, Bandar Lampung (1995-1996) dan reporter Majalah Berita Mingguan Sinar, Jakarta (1997-1998). Sempat mengajar Ekonomi-Akuntansi di SMAN dan MAN di kota kelahirannya (1998) sebelum menjadi Redaktur Surat Kabar Umum Sumatera Post, Bandar Lampung (1999-2000). Kini, jurnalis di Lampung Post, Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung (Litbang DKL), bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) dan Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Lampung. Dianggap membawa pembaruan dalam tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung sebagaimana terlihat dalam buku kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesianya, Momentum (2002), dia disebut “Bapak Puisi Modern (Berbahasa) Lampung. Sajak-sajak lainnya termuat dalam antologi bersama: Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh (SKM Teknokra, 1995), Lampung Kenangan, Krakatau Award 2002 (Dewan Kesenian Lampung, 2002), Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2003), dan Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation, 2004). Cerpen-cerpennya dimuat dalam Sapardi Djoko Damono dkk. (Ed.) Graffiti Imaji (Yayasan Multimedia Sastra-Damar Warga, 2002). Penyunting dan kontributor: Etos Kita, Moralitas Kaum Intelektual (Gama Media-Teknokra, 2002). Buku lainnya: Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh dan Mak Dawah Mak Dibingi, Tak Siang Tak Malam (dalam proses terbit).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007