Langsung ke konten utama

Aku Juga Punya Cita-Cita



temanku, belajar apa kamu hari ini?
menyanyi?
aku juga
kelasku pindah-pindah, UKI-Bogor, Cawang-Priok,
Pulogadung-Blok M
laguku belum banyak
"di pucuk pohon cemara" sudah tak kunyanyikan lagi
"jujurlah padaku" itu mereka lebih suka
kadang terdengar sumbang
maklum dengan ukulele butut yang senarnya putus satu
kalau tanpa musik, receh yang masuk berkurang
tapi aku tak mau asal genjrang-genjreng
mereka `kan bayar
biar cuma sekeping logam seratus rupiah

matematika?
aku juga
lima metromini ditambah tiga kopaja ditambah tiga bis
dikali dua dikurangi dua ratus rupiah buat beli cireng
sama dengan dua ribu lima ratus lima puluh rupiah
yang sesampai di rumah tidak cukup-cukup juga untuk
membuat perut adik-adikku tenang
kalau malam aku belajar menghitung bintang
baru sampai hitungan ke seratus satu aku ketiduran
bintangnya juga terlalu banyak
dan aku lupa di bintang yang mana aku menggantung
cita-citaku

menggambar?
aku juga
tapi bukan dua puncak gunung dengan matahari di
tengahnya berikut hamparan sawah menghijau atau rumah
dengan dua daun jendela berikut kursi meja dan vas
bunga
kolong jembatan, anak-anak tunawisma, pemulung kecil
yang sudah pintar isap rokok dan kali yang airnya
coklat tua itu gambar yang aku hidupi
matahari hampir pasti tak sampai ke sini
karena itu pinsil warna merah hijau kuning biru tak
pernah kupakai

temanku, belajar apa kamu hari ini?
semoga harimu menyenangkan
dan besok kita masih bisa saling pandang
untuk bertukar senyum


jkt, 18 april 2006


*
Laura Paais lahir di Surabaya, 4 Agustus. pekerjaan saat ini sebagai writer di Jejak Rumah Iklan dan Disain. Pengalaman menulis di majalah Femina, Gadis dan menulis kumpulan puisi pribadi.


Puisi Nominasi Sayembara Puisi Puitika Edisi April 2006
Dengan Tema " Anak-anak Kita, Anak Indonesia"



Komentar Dukungan



Aku Juga Punya Cita-Cita

manis. lugu. jujur. miris.
menyingkap kemiskinan tanpa harus berpikir miskin.
membacanya saya tiba-tiba merasa kesepian.
jalanan realita ribuan.

salam setia,
nurman

    "nurman priatna" <nurmanpriatna@gmail.com>
_________________________________________


Sebuah fenomena yang sangat akrab dalam kehidupan kita. Ribuan anak yang
merindukan untuk bisa bersekolah dan menikmati fasilitas yang ada. Sebuah
ungkapan mengenai cita-cita dari jutaan anak yang merindukan kehidupan
normal layaknya teman-teman seusia mereka yang tak perlu bersusah payah
mengais rejeki untuk menghidupi keluarganya. Cita-cita biasa yang sulit
diwujudkan.

Linda Astuti

"linda nicegreen" <nicegreen@gmail.com>
___________________________________


puisi ini penuh dengan ironi  kehidupan, dilihat dari kacamata
seorang anak jalanan penggarapannya memang sederhana, tapi itu yang lebih pas untuk dapat menggambarkan kehidupan anak jalanan karena memang puisi tak selalu harus "berindah-indah" dengan kata-kata yang dibungkus
dengan kemasan luks

Nanang Suryadi (nanangsuryadi@yahoo.com)
______________________________________


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...