Langsung ke konten utama

Kekasihku 15: Kisah om No, aku, dan keraguanmu


 
                          1
Kekasihku, siapa tuan dalam tubuhmu,
yang buatmu jadi api. mungkinkah
kau terbuat dari api? sperma ovarium api.
 
padahal telah kau kunyah kepala dan kisah
om No, yang dihidangkan gratis untukmu.
ku lihat kau begitu menikmati, serat-seratnya
tak tersisa. belum kenyangkah? tidak, tidak,
jangan kau berkata, “kata-kata itu sudah ku
simpan dalam lemari, ku tutup rapat-rapat
biar ia tidak pergi, tapi saat ku butuh,
ia sudah menjadi abu”
 
pantaskah aku berkata, “aku adalah lelaki,
rumah dan kamar tidurku adalah perempuan”.
seperti pesan bunda untukmu, “saat pulang,
antarkan lelakimu sampai jalan, pandang ia,
sampai habis dalam tikungan”
                            2
Kekasihku, sajak-sajak ini telah kita susun
selama dua tahun lewat delapan hari. apakah
nanti hanya akan menjadi penghuni perpustakaan
kisah, yang hanya dibaca saat kita senggang
dan beranjak tidur. apakah kau ragu? bukankah
aku tak punya pilihan.   
 
taman esok hari kita telah berbau api. tapi kita
seperti telah dicatat Tuhan, seperti adam dan hawa
menciumi dan memunguti bulir-bulir keringatnya
sendiri, yang lain adalah malaikat dan setan
yang menggoda.
 
maret-april 2006
 
Kekasihku 16: Menangislah batu
Kekasihku, ada batu menangis di kuburan
isaknya tenang, nyaris datar
seperti anggrek di pasang pada tiang rumah,
bergelayut pada senja
tapi air mata itu terus berjatuhan, terus berjatuhan,
sambil bibirnya menahan kata:
“aku ingin selalu bersamamu,
walau perih itu selalu ada”
 
maret 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...