Langsung ke konten utama

Abdul Hadi Widji Muthari.

Nama lengkap sastrawan Madura ini adalah Abdul Hadi Widji Muthari. Ia dilahirkan di Sumenep, 24 Juni 1948. Sejak kecil ia telah mencintai puisi. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar, ditambah dengan dorongan orangtua, kawan dan gurunya.

Di masa kecilnya pula ia sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat, dengan pemikir-pemikir kelas dunia seperti Plato, Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal.

Ia pernah menempuh pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada hingga tingkat sarjana muda, lalu pindah ke studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat doktoral, namun tidak diselesaikannya. Ia beralih ke Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran dan dalam program studi antropologi, juga tidak tamat. Akhirnya ia justru mendapatkan kesempatan studi dan mengambil gelar doktor dari Universiti Sains Malaysia di P. Penang.

Hadi juga pernah menjabat sebagai redaktur kebudayaan Harian Berita Buana dan anggota Dewan Pimpinan Harian Dewan Kesenian Jakarta.

Puisi-puisinya kian lama kian kuat diwarnai oleh tasawuf Islam. Kumpulan puisinya, "Meditasi", memenangkan hadiah buku puisi terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1978. Bukunya "Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh", melukiskan kecenderungan religiusnya.

Pada tahun 1992, ia menerima tawaran dari Universiti Sains Malaysia di P. Penang, untuk menjadi "ahli cipta" di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, di sana. Posisinya sebagai "ahli cipta" di perguruan tinggi yang berlokasi di Penang, Malaysia itu membuka peluang mengikuti program doktoral di perguruan tinggi itu dalam bidang sastra. Ia kembali ke Indonesia dengan gelar doktor, dan kini Hadi menjadi dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina.

Hingga kini sudah enam kumpulan puisi yang diterbitkannya. Empat buku lainnya bukan puisi. Dengan istrinya, Tedjawati, yang menjadi pelukis, ia sering terlibat diskusi soal seni. Ia juga menyukai karya Bach, Beethoven, dan The Beatles.

Kumpulan puisi
  • Meditasi (1976)
  • Laut Belum Pasang (1971)
  • Cermin (1975)
  • Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
  • Tergantung Pada Angin (1977)
  • Anak Laut, Anak Angin (1983)

Tulisan tentang Abdul Hadi WM
  • "Naturmagie und Sufismus - Gedichte des indonesischen Lyrikers Abdul Hadi W.M.", dalam Orientierungen 1/1991, S. 113-122.
  • "Struktur sajak penyair Abdul Hadi W.M." (1998) oleh Anita K. Rustapa
  • "Arjuna in meditation: three young Indonesian poets: selected verse of Abdul Hadi W.M., Darmanto Jt & Sutardji Calzoum Bachri", (1976) Writers Workshop, Calcutta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007