Langsung ke konten utama

Diskusi dan Pembacaan Puisi Lintang Sugianto

Tridi Communication, Balai Pustaka dan SelasarOmah mengundang Anda untuk menghadiri diskusi dan pembacaan antologi puisi Kusampaikan karya Lintang Sugianto (Balai Pustaka, 2006), pada:
- Hari/Tanggal : Selasa, 28 Maret 2006
- Tempat : Cafe Omah Sendok,
Jl. Taman Empu Sendok 45, Blok S
Jakarta Selatan.
- Acara :
18.00 - 18.50 : Registrasi peserta
19.00 - 20.25 : Diskusi dan bedah antologi Kusampaikan.
Pembahas:
WS Rendra - Kedalaman estetika sajak-sajak Lintang Sugianto
Eep S. Fatah - Analisis kontekstual Kusampaikan
Moderator:
Akmal Nasery Basral, wartawan Tempo
20.30 - 20.40 : Musikalisasi puisi oleh Hasan Elmor
20.45 - 21.45 : Pembacaan puisi-puisi dari antologi Kusampaikan oleh:
- WS Rendra
- Deddy Mizwar
- Ratih Sang
- Jajang C. Noer*
- Rieke Dyah Pitaloka*
- Lintang Sugianto
- Gratiagusti Chananya Rompas (Bunga Matahari)
- Bambang Sugianto
GRATIS! Tersedia kopi dan makan malam.
Siapkan otot-otot kaki dan balsem jika dibutuhkan. Lesehan/kendurian style.
Konfirmasi kehadiran:
- Ely NW: 0856.7890515
Cheers,
Selom
* Dalam konfirmasi

Beberapa komentar tentang Kusampaikan:

"Inilah kumpulan sajak-sajak anak alam. Halaman-halaman buku ini bukanlah taman yang rapi dan terencana, tetapi sebuah pekarangan yang semuanya tumbuh dengan sedikit saja campur tangan kebudayaannya.
Ya, kadang-kadang nampak rumpun bambu yang tidak tertata.
Ya! Bau keringatnya pun ada" (WS Rendra)

"Spontan, tanpa pretensi dan jauh dari menggurui ... Di tengah maraknya penulisan puisi dewasa ini yang sudah menampilkan berbagai teknik ekspresi dan manipulasi artistik yang membuat puisi sering menjadi gelap dan kadangkala hanya timbunan opini saja" (Putu Wijaya)

"Membaca puisi Lintang adalah seperti membaca dalam-dalam hidup kita ini yang sederhana tapi tetap berarti" (Jajang C. Noer)

"Himpunan puisi jolong ini menunjukkan produktivitas dan semangat berkaryanya. Ucapan-ucapannya mengalir deras, tak dapat menahan gemuruh perasaannya" (Taufiq Ismail)

LINTANG SUGIANTO jebolan Arsitektur Landscape Trisakti dan ASMI adalah penulis Illahi (kumpulan puisi, 1998), Pelepah (kumpulan puisi, 2000), Matahari di atas Gili (novel, 2004).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007