1/
Aku belum mampu menulis sajak cinta
Matahari musim semi menikam dada
disambut tujuh kuncup luka yang mekar.
Salju yang mencair serupa mata
teteskan tangis pada kabar yang kudengar.
Inikah luka musim sesungguhnya?
Ibu yang berjalan tanpa sepatu
dengan perih kaki yang tak dirasakannya,
atau hanya sekuntum bunga yang layu?
Lalu untuk apakah angin kautunggu
jika dedaunan tak inginkan goyah,
dan aku bagai anakkecil tak berbaju
sendirian di musim yang salah.
2/
Tak ada sajak cinta untukmu kali ini
Seperti burung tinggalkan sarang
empat musim terpecah di udara,
aku belajar bahasa gelombang
agar paham ketika kaubicara.
Langit musim semi memudar
menyisakan bulan di cakrawala,
Jika sajak ini kaubaca dengan gusar
punahlah daku di puncak segala
2007
Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”
Komentar
Posting Komentar